Wednesday, 11 January 2017

Terima Kasih Indonesia

Tahun 2015 saya akhiri di Munchen bersama keluarga dalam agenda liburan musim dingin. Entah karena lupa atau tidak riset sebelumnya, kami baru sadar bahwa di malam tahun baru dan tahun baru semua toko tutup. Kami hanya makan bekal seadanya dan popok Fatih tinggal dua! Padahal perjalanan masih 2 hari lagi, artinya kami butuh minimal 6 popok untuk Fatih.
Kemudian agenda perjalanan selanjutnya berisi mencari popok dan toko yang masih buka. Nihil. Alhasil pulang ke penginapan dengan tangan hampa. Harap harap cemas semoga esok masih ada toko yang buka dan menjual popok bayi.
Dalam perjalanan pulang, kami melihat pemandangan yang mengiris hati. Pertama karena pemandangannya. Kedua karena saya tidak bisa berbuat apa-apa. Pengungsi dari Suriah. Keluarga dengan dua orang anak berusia sekitar 7 dan 4 tahun. Entah kapan mereka datang ke Munchen, tapi mereka masih bersama koper dan beberapa barang bawaan. Menunggu di sudut stasiun. Dipandangi oleh orang yang lalu lalang. Memandangi keterasingan. Serba salah entah mau kemana yang pasti tak mungkin kembali. Pulang? Pulang kemana? Dingin mencekam. Mungkin lapar (bodohnya saya tidak terpikir untuk sekedar membelikan roti). Oke ketika menulis ini tiba-tiba saya ingin kembali ke fragmen itu untuk sekedar memberikan sebungkus makanan.
Di luar sana terdengar suara kembang api perayaan tahun baru. Mungkin bagi mereka itu sudah biasa karena pernah mendengar yang lebih memekakkan telinga.
Di pikiran orang lain (saya), ada kekalutan akan habisnya popok bayi. Oh! Dimana nurani saya saat itu. Tiada popok, fatih masih bisa hidup bahagia. Pun saat itu masih ada dua. Arah pulang kami masih bertujuan. Perut sudah terganjal. Baju masih hangat. Orang tidak memandang kami sebelah mata Tapi mereka?
Saya sering menegur diri sendiri lewat tulisan. Teguran kali ini betapa saya lupa bersyukur terhadap dua hal.
Yang pertama terhadap nikmat yang masih ada. Plus semoga keluarga mereka segera mendapatkan tempat berteduh yang layak dan kemanan yang cukup.
Yang kedua terhadap Indonesia. Seburuk apapun kekecewaan saya terhadap beberapa aspek bangsa sendiri, saya masih bisa bersyukur bahwa: masih ada harapan dan kedamaian. Setidaknya saat ini dan masa depan.
Terima kasih Indonesia, setidaknya saat ini saya tidak malu mengaku sebagai bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain. Setidaknya saya masih punya cerita bagus yang layak didengar. Setidaknya ada yang bilang saya beruntung hidup di sana (karena iklim dan bentang alam yang seperti surga).
Semoga saya dan siapapun yang membaca ini bisa menambah cerita baik tentang tanah tumpah darah.
Nb : fatih juga tetep jadi bangsa Indonesia ya baby !
Regards,
Yosi Ayu Aulia

No comments:

Post a Comment