Saturday 19 February 2011

saya memilih

untuk tidak membalasnya, walaupun mungkin bisa saja. Tapi saya pikir, untuk apa? Saya khawatir balasan saya tidak cukup adil untuk mengimbangi apa yang menimpa saya.

Bukankah ada Allah yang Maha Adil dalam membalas?
Bukankah memaafkan lebih mulia?
Bukankah tugas kita sebagai seorang manusia adalah berbuat kebaikan, sampai kapanpun, kepada siapapun? Dan Tuhan adalah sebaik-baik pemberi balasan..
Bukankah pembalasan hanya menyisakan dendam?
Bukankah kemarahan hanya meninggalkan luka yang tidak pernah hilang meski kita meminta maaf? --bagaikan papan yang dipaku--. Dan saya memilih untuk tidak marah dengan arogan, namun berusaha untuk menahannya dalam perih. Sebab saya tidak bisa marah dan terlalu lelah untuk berteriak.

Saya percaya dan amat yakin dengan keputusan saya sebab saya telah konsultasikan dengan-Mu. Meski tak semua senang dengan itu. Tapi tugas saya adalah mencari ridho-Mu, bukan persetujuan orang lain. Maka saya memilih untuk diam, Tuhan. Saya khawatir penjelasan saya hanya akan mengurangi makna kearifan-Mu. Aku percayakan pada-Mu yang akan menjelaskan dengan arif dan lembut.

Ah, Tuhan. Betapa Engkau selalu meyakinkan saya bahwa Engkaulah seadil-adilnya pemberi balasan?
Meskipun utusan-Mu memperbolehkan umatnya untuk menampar balik bila kami ditampar, saya memilih untuk memaafkannya.
saya memilih untuk berbagi cerita dengan-Mu dan mencari kedamaian dalam firman-Mu.

"Sungguh Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sekecil zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya" (Annisa :40)

"Dan Allah lebih mengetahui musuh-musuhmu. Cukuplah Allah sebagai pelindung dan cukuplah Allah sebagai penolong bagimu" (Annisa : 45)


#postingan saya kali ini terlalu melankolis. ga papa, berarti perempuan beneran. hehe.

Thursday 17 February 2011

surat untuk anakku

Anakku sayang,
kuingat ketika kau perkenalkan teman wanitamu kepada ibu
ada binar aneh dalam matamu

binar itu tak pernah ibu temui
selama puluhan tahun ibu membesarkanmu

meski kau gembira saat kau dulu dapat berjalan
tak ada binar itu

meski kau lega saat khitanmu telah sembuh
tak ada binar itu

meski kau bangga saat terdaftar di universitas yang kau idamkan
tak ada binar itu

meski kau telah lulus dan berhak menyandang gelar yang kau cita-citakan
tak kujumpai binar itu

ibu bertanya-tanya
binar apa itu ?
yang memancar ketika menceritakan
siapa dan bagaimana teman wanitamu

Ah, ibu tahu.
itulah binar cinta
sama seperti binar mata ayahmu
saat meminta ibu untuk jadi teman hidupnya

Anakku sayang,
binar itu makin berkilat-kilat
saat kau minta ibu ke rumah teman wanitamu
kau telah bertekad menjadi teman hidupnya

Ah, angan ibu melayang-layang
ingat saat ayahmu melamar ibu
dan binar mata yang berkilat0kilat ada juga di mata ayahmu saat itu

Anakku sayang,kini kau telah bersanding dengan teman wnaitamu
di matamu ada wajahnya dan di matanya ada wajahmu

katakan padanya
ibu juga mencintainya
sam dan seimbang seperti ibu mencintaimu

kalau dia belahan jiwamu
maka dia juga belahan jiwa ibu
karena anakku,
sampai kapanpun
engkau tetap menjadi belahan jiwa ibu

#puisi ratihsang dari twitter @ratihsang

Tuesday 15 February 2011

cerita sahabat

Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4

“sabarnya dirimu..” Begitu kata teman-temannya. Perempuan itu hanya mengangguk, menunduk, tersenyum. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu, apa arti anggukannya; ia mengamini semoga ia diberi kesabaran lebih. Tidak ada juga yang tahu apa yang dipikirkan ketika ia menunduk; ia menyelami dirinya, mengingat hal perih yang tentu sulit dilupakannya. Dan senyumannya, ah mungkin ia sedang bersembunyi bersama kepedihan hatinya di balik senyumannya. Meski getir.

Saya sendiri tidak tahu, terbuat dari apakah hatinya. Saya tahu ia selalu menyembunyikan kegetiran hatinya—hati yang terlalu lembut dan halus untuk disakiti namun ketegarannya tak diragukan—ia selalu tersenyum dan berkata “Gak papa, semua baik-baik saja”. Namun saya yakin ia sedang bersembunyi bersama kegetirannya, di balik senyumannya.

Saya sendiri tidak habis pikir, dia adalah perempuan ramah, ceria, dan cerewet. Dia selalu punya kisah untuk dibagi, cerita konyol untuk memeriahkan suasana, selalu melakukan hal bodoh yang ditertawakan bersama, bahkan jahil dan tertawa melihat kejengkelan korban kejahilannya. Dia tidak pernah kesepian. Dia selalu punya sahabat untuk berbagi cerita. Meski sanguin, dia adalah perempuan hangat, berhati lembut dan sangat perasa yang mudah berempati dan peduli dengan kesulitan orang lain; terutama keluarga, sahabat, dan orang terdekatnya; termasuk seseorang di hatinya. Sifat tersebut mungkin diperoleh dari pendidikan keluarganya yang murni jawa. Menurutku, ia perempuan jawa yang halus dan ramah ; yang saat ini jarang ditemui di kehidupan pertemananku.

Dirinya adalah perempuan yang tulus. Tulus dalam menolong, memberi bantuan, mendukung, dan tulus mencintai. Saya mengenalnya, bahkan mungkin lebih dari dirinya sendiri, ia selalu tulus membuka hatinya; memberikan hadiah persahabatan kepada orang yang dianggapnya akan membuat jiwanya aman. Sebab ia sangat berhati-hati dan sangat perasa, ia tidak mau hatinya tersakiti oleh orang yang hanya ingin memanfaatkan ketulusan hatinya.

Saya yakin bahwa sikapnya yang menyenangkan, keputusannya yang arif, serta mimpi dan cita-citanya yang berorientasi semesta tentulah lahir dari hati yang bersih dan wawasan yang luas. Mengenai hati, jangan ditanya. Dia adalah sahabat saya yang paling sabar dan tulus. Cintanya tulus, meskipun banyak orang menyakitinya. Ia hanya terhenyak, kamudian tersenyum. Tapi saya sering melihatnya menangis dalam doanya usai shalat. Selalu begitu. Ia selalu menumpahkan tangisnya dalam shalat, sujud panjang, dan doa kepada Tuhannya. Sebab ia yakin, bahwa Tuhan adalah sebaik-baik sumber kekuatan. Bila ditanya kenapa, ia hanya menceritakan sekedarnya. Kemudian kami hanya berkata “sabarnya dirimu”. Dan ia hanya mengangguk, menunduk, dan tersenyum.

Hal yang paling saya soroti dalam kehidupannya adalah ketulusan cintanya. Ia tetap tulus mencintai, mendukung, mendoakan orang yang ia cintai. Padahal seringkali saya menahan amarah; sebab laki-laki itu begitu bebalnya untuk memahami ketulusan hati sahabat saya. Menurut saya, dia adalah laki-laki yang bodoh. Seringkali ia menyia-nyiakan ketulusan hati sahabat saya. Sahabat saya adalah perempuan baik-baik, shalihah, dan tulus. Semua orang juga tahu, bahwa selain kebaikan hati, sahabat saya juga dianugerahi sifat yang menyenangkan, akal yang cerdas, serta wajah yang manis. Ia juga berasal dari keluarga baik-baik dan berkecukupan. Bahkan ia mulai mandiri secara ekonomi. Sahabat saya adalah profil sempurna istri idaman. Bila Rasulullah mensyaratkan empat perkara untuk memilih calon istri, sahabat saya telah memenuhinya. Tetapi lelaki itu seringkali menyakiti hati sahabt saya; bukan dengan sikap kasarnya, ucapan semena-mena, atau bentuk aniaya lainnya. Lelaki itu secara tidak langsung, menzhalimi sahabat saya dengan sikapnya yang tidak kunjung memberikan kepastian.

Thursday 10 February 2011

kebiasaan yang membahagiakan

1. bangun subuh, sholat subuh, ngaji, berkegiatan pagi (mencuci, bersih2, beres2, merawat diri sendiri)
2. olahraga pagi / sore 3-4 x 1 minggu; melihat matahari pagi dan senja
3.sarapan
4. merencanakan kegiatan sehari
5. mandi yang bersih
6a. pake baju cakep, dandan yang cantik.
6b. shalat dhuha; doa pagi
7. bertemu dan bersua dengan sahabat.
8. menyelesaikan target 1 hari.
9. pulang dengan hati senang.
10.luluran di sore hari (biasanya seminggu sekali)
11. sholat magrib, dan ritualnya; doa petang
12. makan malam dengan jus buah.
13.menulis diari.
14.membaca buku.
15. berdoa dan shalat sebelum tidur.

kebiasaan yang membahagiakan, sebab waktu bisa termanfaatkan dengan baik.

terima kasih, mama. :)

renungan malam-malam.

sebenarnya apa yang saya tuliskan disini adalah hasil perenungan saya semalam sebelumnya. Tetapi, karena saya terserang mual-mual sbeleum tidur, alhasil saya tidak sanggup menuliskannya di blog. heheh.

Lalu, apa gerangan renungan saya ?

Renungan saya adalah tentang almh Ibu Ainun Habibie. Tiba-tiba saya teringat dengan liputan mata najwa yang bertajuk "separuh jiwaku pergi". Acara yang dibawa oleh Najwa Shihab tersebut, host favorit saya, meliput kehidupan Ibu Ainun dengan Pak Habibie sejak bertemu hingga beliau wafat. Kepiawaian Najwa membawa alur pembicaraan face to face dengan Pak Habibie berpadu dengan pernyataan Pak Habibie yang jujur dari hati menghasilkan suasana yang sangat mengharukan dan berkesan; terutama bagi saya yang seorang perempuan. Kesan lain yang mendalam bago saya pribadi adalah peran Ibu Ainun dalam memberi nama sekolah (MAN) tempat saya bersekolah dulu, yang didirikannya bersama Pak Habibie, Insan Cendekia. Guru-guru saya bercerita bahwa nama tersebut adalah doa Ibu Ainun bagi siswa-siswi penerus bangsa agar menjadi insan yang cerdas, cendekia, dan bertaqwa. Bagus ya doanya..

Nah, saat ini saya ingin membahas tentang kesan saya terhadap Ibu Ainun sebagai seorang perempuan; terutama sebagai istri dan ibu.

Ada beberapa cerita mengenai Habibie-Ainun yang selalu sukses membuat saya menangis terharu (cerita tersebut diungkapkan di mata najwa dan buku Habibie-Ainun); diantaranya adalah kisah tentang kesetiaan Pak Habibie mendampingi Ibu Ainun di detik-detik terakhirnya dan cerita tentang tangis Ibu Ainun, ketika sedang kritis, yang ternyta adalah tangis kekhawatiran terhadap kesehatan suaminya. Subhanallah; kesetiaan yang tulus luar biasa.

Ada juga pernyataan Ibu Ainun kepada Pak Habibie yang secara implisit mendukung setiap langkah karya suaminya, tertulis di buku Habibie-Ainun. Pernyataan tersebut adalah
"The big you, and the small I". Setelah saya pikir2, artinya dalam juga. Pernyataan tersebut menyiratkan dukungan seorang istri yang merendah, meskipun memiliki kompetensi yang berkualitas sama, untuk mendukung kemajuan suaminya.

*interupsi sebentar, saya mau menghapus air mata dulu*

*oke lanjut*

Saya akan melampirkan (via hyperlink) puisi Pak Habibie yang dibuatnya selepas kepergian Ibu Ainun. Puisi tersebut ada di tumblr saya sih, ya sekalian promosi spaya sekalian visit tumblr saya. haha. Udah dibuka kan ?? hehe.

Nah, saya kutip sepenggal bait deh.
namamu Ainun….
yang mengorbankan karir doktermu
demi engkau menginginkan kedua putramu
menjadi doktor-doktor yang handal dan perkasa
betapa ikhlas kau meninggalkan masa depan cemerlang itu..
karena rangkulan ibu kepada anak kau anggap jauh lebih bermakna
itu yang selalu kau katakan kepadaku…
selalu saja kau anggap karir suami jauh lebih penting..
masa depan anak demikian pula…

penggalan puisi tersebut sejalan dengan pernyataan Ibu Ainun "The big you and the small I". Beliau merendah, padahal mungkin beliau seorang achiever juga seperti suaminya, untuk memenangkan hati suaminya untuk mendidik anak-anaknya. Itulah profil seorang ibu, seorang istri shalihah penyejuk mata, penenang hati..

ada lagi

Namamu Ainun..
penuh kesabaran menghadapi dunia yang semrawut ini..
tatkala hujatan batu menggelinding di atas kepala
menimpa suami terkasihmu dan keluarga besarmu…
matamu tetap lembut cantik menatap dunia
dipenuhi ayat-ayat suci menggema
karena kau tak pernah lepas dari kedua hal sakral itu..
bersujud senantiasa, dan membuka lembar demi lembar kitab sucimu…
kadang hanya setengah berbisik..
kau mengaji di sudut rumah dengan begitu khusyuk…
karena kau tahu persis segalanya menjadi sumringah bila dilawan dengan doa
serta tawakal yang penuh tersebar di hati…
Ibu Ainun adalah penenang jiwa, penyejuk kegundahan hati, terutama hati suaminya. Sebab beliau percaya bahwa suaminya mampu memberikan karya terbaik, pengabdian tertulus, dan sebagai seorang istri, beliau mendoakannya dengan penuh khusyu dan tulus.

Kisah cinta ini, yang berpadu dengan pengetahuan saya tentang kisah Muhammad-Khadijah, buku-buku relationship woman-man, dan pengamatan saya terhadap pengalaman lain memberikan saya satu pemahaman baru:

bahwa seorang suami adalah pemenang, seorang istri adalah penenang.
hm, lebih generalnya seorang laki-laki adalah pemenang dan perempuan adalah penenang. kalo kata buku2 yang saya baca, ego laki2 adalah pada karir (pencapainnya), dan ego perempuan adalah pada keluarganya..

Menurut saya, itulah yang ideal. Sebab Tuhan saja telah mengajarkan kepada kita, melalu kearifan ciptaan-Nya; yakni peristiwa ovum dan sperma. Temen2 tahu kaaan.. Ya, Ovum tetap tenang menunggu, dijaga baik-baik dalam rahim yang tenang. Sperma memenangkan kompetisi, memenangkan ovum untuk menghasilkan karya nyata (hemm agak aneh). Bisa dibayangkan kalau ovum juga ingin bertemu dengan sprema dan bergerak-gerak aneh random, atau sperma hanya diam pasif tidak berjuang? Ya, kehidupan di dunia ini hanya terbatas di cerita Adam dan Hawa saja.

Begitu pula dalam suatu doa, di salah satu ayat Alquran:

Rabbana hablana min azwaajina, wa dzurriyyatina qurrata a’yuniw, waj’alna lil muttaqiena imaamaa.”

Artinya:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami jodoh kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang2 yang bertakwa.” (QS 25:74)

menurut saya sih, penyenang hati itu adalah perempuan (ya laki-laki juga boleh); dan imam itu adalah laki-laki (kayaknya yang ini insyaAllah udah pasti)..

Lalu, bagaimana untuk seorang perempuan achiever, seperti saya. haha..
dulu saya bingung lho. karena saya menganggap bahwa achievement hanya sebatas karir. Oh, tetapi bukan itu. Achievement bisa lebih luas lagi, termasuk dalam membangun keluarga, tombalk peradaban bangsa. Bila kita seorang achiever, maka achievement kita adalah keluarga sakinah mawaddah warrahmah, sekaligus berkarya nyata bagi kehidupan masyarakat tanpa melalaikan kewajiban sebagai istri dan ibu. Dan sebelum saya menikah, semoga Allah mengizinkan saya menjadi achiever terhadap cita-cita saya... amiiinnn... (tapi nikahnya semoga disegerakan juga ya Allah.. ^^)

oke. case closed !

cover novel Habibie & Ainun

kebingungan saya sudah terjawab. Terima kasih, Allah.. untuk pencerahan ini.

untuk laki-laki, jadilah pemenang; perempuan, jadilah penenang.