Sunday 8 November 2015

Mandiri dan Fungsional

Adalah salah satu sifat yang melekati kepribadian masyarakat Eropa pada umumnya.
 
Di kehidupan masyarakat menengah dan rata-rata, setidaknya fenomena ini sering ditemui. Bersepeda atau naik kendaraan umum, tidak memiliki housemaid di rumah, solo travelling dan mengandalkan peta, melihat supir bus atau tram seorang perempuan, mengangakat koper sendiri, mengukur dan memotong sendiri kain yang diperlukan, mengambil dan menimbang sendiri buah yang mau dibeli, memasukkan belanjaan sendiri ke dalam kantong (tidak dibantu kasir), dan (sejauh pengamatan saya) jarang ada yang bermake up tebal.
 
Hal-hal kecil yang merupakan cerminan dari sikap kemandirian dan fungsional. Fungsional, semua ada fungsinya dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, meminimalkan kemubadziran, dan memudahkan pekerjaan manusia.
 
Ya, berdasarkan kombinasi prinsip tersebut, hampir semua hal termekanisasi. Ada alat bantunya. Misalnya, pekerjaan ibu rumah tangga dipermudah adanya mesin cuci, penyedot debu, food processor, blender, microwave, dan dishwasher. Klik. Beres dalam waktu yang lebih singkat. Sangat memungkinkan untuk dilakukan semua sendiri (tanpa housemaid).
 
Kaum berkebutuhan khusus pun jadi tertolong dan mandiri sehingga tidak menjadi golongan kelas dua. Mulai dari kursi roda, alat bantu jalan (khusus lansia), kursi roda bermesin (yang mirip skuter), disediakan anjing penuntun tuna netra, paving blok dan tombol lift juga turut mampu membantu, hingga layanan jadwal kereta via audio. Semua bertujuan mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kemampuan self-help. Membuat mereka merasa berdaya dan dihargai sebagai manusia. Dan baiknya, kebanyakan orang menghargai kaum ini dengan memberi jalan terlebih dulu, atau sekedar tidak mengganggu.
 
***
 
"Apakah repot mengurus rumah tangga sendiri di negeri orang?"
 
Untuk pertama kali, tentu perlu penyesuaian. Tapi kemudian kami mulai terbiasa. Mandiri dalam hampir segala hal. Mulai dari membersihkan rumah, memberi nama anak, bergantian merawat Fatih, menentukan dan merancang liburan, dan keputusan keputusan lain. Akhirnya kami menikmati otoritas dan tanggung jawab yang penuh sebagai orang tua, suami istri, dan sebuah keluarga. Justru kami merasa terusik jika ada sikap yang melukai kedaulatan tersebut.
 
Bukan untuk curhat, tapi perasaan itu menjadi bekal kami untuk berhati-hati dalam berkomentar dan bersikap atas kehidupan orang lain. Mengurangi gosip dan kepo karena selain menyakitkan, hal tersebut tidak fungsional.
 
Ya, budaya mengerjakan semua sendiri membuat mereka:
1. Berusaha melakukan segala sesuatu dengan efisien dan efektif
2. Menciptakan alat bantu agar tujuan poin 1 tercapai
3. Mengurangi hal-hal yang menghalangi tercapainya poin 1 bagi diri sendiri atau orang lain. Misalnya kepo dan gosip, berdandan tebal kalau hanya untuk beli sayur.
 
Nah, budaya dan sikap ini sering dikira masyarakat Indonesia (termasuk saya di awal kehidupan di sini) bahwa mereka individualis, dingin, atau sombong. Pengalaman dan pemahaman saya (yang baru beberapa tahun ini , yang lebih paham silakan menambahkan ya) mereka hanya tidak mau mengganggu privasi atau ingin mengurangi hal-hal yang tidak fungsional. Sebenarnya mereka senang menolong dan memberi tahu arah jalan bila kita tersesat. Sering juga, mereka akan ramah dan mengajak berbincang di perjalanan kereta. Atau menyapa tetangga bila bertemu di jalan.
 
Saya pribadi mengakui bahwa ini bagai 2 sisi mata uang. Ada baik dan buruknya.
Sisi baiknya, saya bisa mendidik anak saya lebih mandiri dan cerdas secara emosi, sosial, dan intelektual. Ya, anak yang mandiri menurut saya punya kesempatan lebih untuk menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga lebih cerdas. Anak-anak di sini juga dibiasakan untuk makan sendiri, tidak (mudah) dikasihani, dan tidak langsung ditolong bila jatuh saat bermain. Mereka dibiarkan mengatasi masalahnya sendiri, orang tua tetap mengawasi kemanan tetapi tidak merebut hak anak untuk belajar.
 
Pribadi yang mandiri dan fungsional juga lebih kuat karena mengurangi ketergantungan pihak lain dalam memenuhi kebutuhannya (nah poin ini kalau dilihat sebagai bangsa oke banget deh).
Kekurangaannya, kadang mereka perlu diminta untuk mau menolong karena mereka pikir kita mampu menyelesaikan sendiri. Misalnya, saat sangat keberatan mengangkat stroler bayi. Maka ya sampaikan saja secara asertif dan ucapkan terima kasih kalau sudah ditolong.
 
Kadang saya suka merasa kasihan sekaligus bingung (perlu kasihan atau tidak) kalau melihat para lansia di sini melakukan semua sendiri. Salut sih, hebat juga kemandirian, kesehatan, dan keberaniannya. Kebanyakan dari mereka hidup terpisah dari anak cucu, menikmati hari tua bersama pasangan. Sebab mereka memandang bahwa anak yang sudah dewasa (dan berkeluarga) telah memiliki privasi yang tidak boleh diganggu. Berkumpul dan saling berkunjung masih sering dilakukan, tapi mereka masih sangat menghargai privasi. Nah, poin iba saya adalah saat salah satu dari pasangan lansia ini tiada, maka pasangannya akan sendiri. Kalau di tanah air, pasti sudah tinggal bersama anak cucu. Kalau di sini, mereka sering hidup sendiri. Saya tidak berhak menghakimi anak mereka tidak berbakti, bisa saja memang itu pilihan hidup dan budaya.
 
Ohya, ada juga lansia yang masih single. Artinya mereka tidak membangun keluarga kecil. Nah biasanya mereka adalah lansia yang benar-benar kesepian dan tidak punya sanak keluarga untuk dikunjungi. Kadang-kadang, mereka ditemukan telah tiada setelah hitungan minggu bahkan tahun karena kondisinya yang tanpa teman. Sedih ya.
 
Ya, begitulah. Budaya di rantau tidak selalu baik, pun tidak selalu buruk. Untuk saya, mandiri dan fungsional itu penting. Tapi ketika ada keluarga yang memerlukan pertolongan sebaiknya dibantu.
 
Selamat berakhir pekan. Selamat menjadi pribadi yang mandiri, menghargai privasi, dan tetap suka menolong. Karena kemampuan menolong orang lain diawali dari kemampuan menolong diri sendiri. So, be independent !
 
Regards,
Yosay Aulia

Friday 6 November 2015

Sopan Santun

Groningen, 2015
 
Pagi ini, ketika saya hendak keluar rumah menuju posyandu untuk keperluan vaksinasi Fatih, saya bertemu mbak tukang pos bersepeda melewati kami dan menyapa "kring kring goedemorgen". Oke, kring kring adalah bel sepedanya, bukan panggilan saya. Goedemorgen artinya selamat pagi. Saya balas dengan sapaan yang sama dan ketika meninggalkannya saya ucapkan "fijne dag", have a nice day.
 
Beberapa meter sebelum tiba di posyandu, mobil dan sepeda berhenti sebelum zebra cross untuk memberi kami jalan. Hal yang sama terjadi pada penyebrang pada umumnya terutama orang tua dan orang yang membawa anak-anak.
 
Sebelum masuk posyandu, kami dibukakan pintu oleh bapak paruh baya agar kami bisa lewat. Selain karena budaya, tebakan saya beliau tahu bahwa kedua tangan saya sudah cukup repot mendorong stroler.
 
Saat tiba di posyandu, petugas mengucapkan goedemiddag, artinya selamat siang. Kami pun membalas. Setelah menimbang dan mengukur panjang, kami dipanggil bidan masuk ke ruangan untuk proses vaksinasi. Di ruangan kami berbincang tentang banyak hal terutama perkembangan Fatih. Mulai dari kebiasaan makan, perkembangan bayi, dan kebiasaan tidur. Semua diawali dengan pertanyaan "do you have something to ask" atau saya yang bertanya "can I ask you something" lalu akan dijawab "yes, tell me". Mereka mau mendengarkan dan memberi jawaban semampu mereka. Termasuk ketika ada perbincangan ini
 
"Berapa lama kamu disini, apakah kamu suka Groningen?"
"Ya, saya suka. Orangnya baik dan sopan. Saya akan 4 tahun disini"
.
.
.
"Apakah kamu berbahasa Belanda disini?"
"Hehe. Pertanyaan bagus. Sebenarnya saya ingin, tapi saya belum menemukan tempat yang cocok"
"Saya juga tidak tahu, tapi teman saya bekerja di sini, mungkin dia bisa kasih info tentang itu. Setelah vaksinasi kamu bisa ingatkan saya untuk tanya dia ya."
.
.
.
Setelah vaksinasi.
"Terima kasih, mungkin kamu mau tanyakan ke teman kamu"
"Ohiya benar. Saya tanya ya"
"Ini brosurnya. Tempatnya disini dan ini gratis lho."
(Wow asik)
"Oke makasih ya. Dada sampai jumpa"
 
Sketsa sederhana yang sering saya rasakan selama merantau di sini. Kesopanan bersikap dan bertutur. Bahasa menunjukkan budi, mungkin benar adanya.
 
Meskipun norma atau budaya kesopanan bisa berbeda satu sama lain, tapi hal-hal sederhana ini tentu dihargai. Semudah sapaan pagi siang sore, ucapan terima kasih, membukakan pintu, menolong hingga tuntas, memberi kesempatan orang untuk keluar lift bus kereta lebih dulu sebelum masuk, mengetuk pintu sebelum masuk, membuat janji dan menepatinya, membuang sampah pada tempatnya, atau menahan diri untuk tidak mencampuri urusan pribadi.
 
Personally, yang saya suka dari pengalaman selama disini, adalah budaya diskusi yang sopan. Bertanya, berpendapat, dengan sopan. Meskipun straight to the point, tapi mereka berusaha untuk tetap sopan. Menunjukkan kelas pribadi yang berbeda (kata om Mario Teguh).
 
Di ajaran agama saya, sopan santun juga menjadi hal penting dan dicantumkan dalam Alquran. Bahkan Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlaq.
 
Tulisan ini tidak bertujuan mengatakan bahwa bangsa X lebih sopan daripada bangsa XKuadrat. Sebenarnya setiap bangsa memiliki fitrah kesopanannya masing-masing, tetapi pasti ada oknum yang bersikap tidak terpelajar di pelosok manapun. Saya ingin memberi highlight bahwa sopan santun adalah nilai yang disukai semua orang, maka selayaknya semua orang (terutama saya) bersikap demikian. Lahir batin. Sikap ucap. Kepada tua muda. Secara vertikal dan horizontal.
 
Selamat melihat ke dalam. Selamat berbenah di jumat berkah. Semoga semakin sopan dan santun dalam sikap lahir batin. Vertikal horizontal. Dan sangat mungkin bahwa kesopanan lahir dari sikap rendah hati.
 
Sebab sopan santun dirindukan semua kalangan, mungkin ada baiknya kita menjadi jawaban kerinduan itu.
 
 
Regards,
Yosay aulia

Thursday 5 November 2015

Rendah Hati

Apa yang berbeda dari pengalaman menempuh pendidikan di tanah Eropa (untuk kasus saya, di Belgia) dan tanah air ?
 
Bahasa, beban dan ekspektasi akademis yang sangat tinggi, kemandirian, lingkungan internasional, fasilitas yang memadai, akses jurnal yang luas, kebebasan berdialektika, tantangan kehidupan non akademis, dan banyak lagi.
 
Tapi kali saya ingin berbagi nostalgia tentang profesionalisme dan kerendahan hati para akademisi (setidaknya dari pengalaman saya dan beberapa cerita yang pernah mampir di telinga).
Di sini saya lebih banyak belajar budaya daripada teori sekolah. Sebab faktanya hal non akademis sering menjadi variabel yang berpengaruh besar pada kesuksesan akademis. Banyak sekali yang berbeda dan membuat saya mengalami gegar budaya sehingga membuat saya terengah-engah mengejar materi akademis di semester awal perkuliahan.  Salah satunya adalah : berdialektika dengan rendah hati. Mereka menyebutnya (ketika berada di kelas yang "pemalu") :tell me in a respectful way.
Ya. Tanyakan saja ketidak mengertianmu. Sampaikan saja pemahaman dan pendapatmu. Ungkapkan saja letak kesulitanmu. Merasa bodoh? Katakan saja. Butuh surat rekomendasi ? Punya ide tesis yang berbeda ? Butuh bantuan diplomasi ? Any profesional problem, tell them. We can discuss in a respectful way.
 
Saya merasa amat kesulitan dan ketakutan di awal. Saya takut dimarahi, dipandang sebelah mata, atau dianggap tidak sopan bila bertanya atau menyampaikan pendapat. Dan saya lihat beberapa teman setanah air juga mengalami hal yang sama. Hm, mungkin wajar saja sebab sketsa berikut ini jarang terjadi di tanah air (ada, saya pernah menyaksikan langsung, tapi jarang).
 
-Ketika ada tawaran perpanjangan beasiswa, saya mencoba untuk daftar atas saran pembimbing akademis saya. Saat itu saya kebingungan mencari profesor mana yang akan saya mintai tolong sebab saya merasa belum pernah terlibat intensif dengan siapapun. Akhirnya saya memilih seorang profesor (kalau di indonesia, disebut kaprodi). Saya mengirim email, menyampaikan maksud saya. Di hari yang telah dijanjikan, saya mengkonfirmasi beliau dan beliau setuju untuk mendiskusikannya di ruangnya. Di akhir diskusi, beliau tanyakan deadline aplikasinya dan dijanjikan akan selesai sehari sebelumnya. And it was done perfectly!
 
- saya sangat tidak mengerti sama sekali tentang suatu matakuliah meskipun telah membaca seluruh materi berulang kali. Akhirnya atas dorongan asisten akademisnya, saya mengirim email untuk membuat janji "les privat". Pada hari yang ditentukan, dengan membawa setumpuk materi, saya tanya berapa lama waktu yg tersedia untuk saya? Dijawabnya "anytime until everything is clear" huhu terharu. Dan simsalabim! 2 jam beliau saya ambil khusus untuk menjelaskan materi. Terharu sih. Ketika sarjana saya (dan beberapa teman saya) sering kehilangan kelas karena dosen yang sibuk. Di sini saya mendapatkan priviliege (asalkan membuat janji).
 
- Seorang kawan bercerita bahwa ia pernah dalam suatu waktu tutorial dengan profesornya dalam waktu yang dijanjikan. di tengah sesi tersebut, datanglah orang penting yang berkaitan dengan proyek besar. Profesor tersebut mengatakan bahwa ia sedang memiliki janji dengan mahasiswanya dan meminta tamu penting itu untuk menunggu, karena ada hak lain yang perlu dipenuhi.
 
- Ketika seorang guru besar turun dari panggung dan menunggu seorang wisudawati (saya) di belakang layar hanya untuk mengucapkan selamat secara personal. Saat itu saya hanya bisa berucap terima kasih untuk menggambarkan suasana hati yang membuncah buncah.
Kerendahan hati. Sederhananya berupa mengucapkan terima kasih, maaf, permisi, tolong, dan silakan. Atau berupa mengambilkan pulpen yang terjatuh, menyapa mahasiswa terlebih dahulu, menyediakan waktu lebih untuk mendidik dan memberi pemahaman, berkeliling kelas untuk mengambil sisa makanan dan membuangnya ke tempat sampah, atau sekedar mengakui bahwa sistem negaranya memiliki kelemahan.
 
Dengan kerendahan hati, ruang diskusi menjadi hidup dan terbuka luas sebab tidak ada yang merasa paling benar. Permintaan tolong pun menjadi lebih manusiawi sebab tidak ingin merepotkan orang lain. Menyampaikan feedback dan ketidak setujuan pun tidak terasa pedas karena disampaikan penuh hormat. Memberi pertolongan selalu ingin tuntas karena merasa bertanggung jawab. Mengerjakan apa yang bisa dilakukannya sendiri sebab tidak merasa lebih tinggi.
 
Saya juga baru sadar bahwa ternyata saya belajar hal yang luar biasa di sini. Di tanah yang penduduknya dikatakan individualis dan dingin. Di sini, saya melihat dari sisi yang berbeda.
Tulisan ini ingin menyoroti pelajaran yang saya peroleh sebagai objek yang menerima perlakuan rendah hati dan penuh hormat. Pun sebagai subjek yang masih terus belajar untuk selalu bersikap demikian.
 
 
Bahwa bersikap rendah hati adalah buah manis keimanan dan kecerdasan.
Regards,
Yosi Ayu Aulia

Sunday 25 October 2015

motivation letter : surat sakti yang meyakinkan

Selain beberapa dokumen pendukung aplikasi beasiswa, motivation letter (atau surat lamaran) adalah hal yang paling krusial. Ketika saya mendaftar program Lotus Erasmus Mundus action 2 (tahun 2012), salah satu penyeleksinya "membocorkan" beberapa rahasia keberhasilan aplikasi beasiswa.
  1. Motivation letter yang baik. Bagaimanakah motivation letter yang baik itu? Karakter utamanya adalah bisa membuat si pembaca terharu. Ya, surat yang ditulis dari seseorang yang jujur terhadap impiannya dan sungguh-sungguh tentu akan dibuat dengan sepenuh hati dan mendalam.
  • Tulislah dengan sungguh-sungguh
  • Sebutkan alasan dan pengalaman kamu yang mendukung alasan kenapa kamu pantas mendapatkan beasiswa itu.
  • Sebutkan manfaat yang bisa kamu berikan setelah menyelesaikan pendidikan tersebut. Berkaitan dengan poin sebelumnya, alasan terkait sumbangsih kamu untuk kondisi bangsa dan negara adalah salah satu alasan yang kuat lho (tapi jangan jadi alasan tanpa bukti lho ya. hehe)
  • Mintalah beberapa orang yang lebih baik kemampuan bahasa inggrisnya untuk mengkoreksi bahasa kamu. Ini penting lho, karena pemilihan kata yang tepat bisa membuat pesan yang ingin disampaikan lebih kuat.
  1. Jejak dan keterkaitan bidang pendidikan sebelumnya dengan bidang pendidikan yang akan ditempuh (misalnya sarjana mikrobiologi akan lebih mudah diterima di program master bioteknologi daripada sarjana psikologi)
  2. Kesesuaian surat rekomendasi dan motivation letter. Pastikan kedua surat tersebut memiliki satu suara dalam menyampaikan keunggulan dan memberikan alasan yang kuat kenapa kamu pantas mendapatkan beasiswa itu. Misalnya, di motivation letter kamu sebutkan bahwa kamu memenangkan kompetisi penelitian. Maka pastikan di surat rekomendasi juga menyebutkan hal yang sama. Itulah alasan penting mengapa sebaiknya surat rekomendasi dibuat oleh dosen yang pernah bekerja dengan kita, yaitu supaya terkesan jujur dan profesional.
Artikel ini kecil, tapi semoga memberikan manfaat yang besar.
Selamat berjuang ya !

Regards,
Yosay Aulia