Wednesday 11 January 2017

Kerja Keras adalah Rizki

Maha Besar dan Maha Luas rizqi-Nya, selalu di luar pemahaman manusia.

Para kekasih Allah memahami, baik rizqi yang mereka nikmati maupun kerja yang mereka baktikan; keduanya adalah karunia Rabb mereka, untuk disyukuri dan diihsankan. (Salim A Fillah, 2014– Lapis-lapis Keberkahan; bab Setitis Rizqi)

Sebagian besar manusia menganggap rizki adalah sesuatu yang berwujud materi, atau hal-hal yang terlihat kasat mata secara duniawi. Misalnya, rekening, jumlah anak, jumlah rumah dan tanah, kendaraan, pekerjaan, jabatan, kerabat, dan networking.
Semua itu memang benar merupakan bentuk rizki. Tidak ada yang salah.
Tapi saya beberapa kali tercenung dengan suatu konsep yang menggembirakan dalam fase krisis seperempat abad. Yakni, kerja keras adalah rizki.
Ya, selain kesehatan dan waktu luang yang mutlak merupakan rizki, kerja keras pun demikian.
***
Selepas lulus pendidikan sarjana, saya terhitung belum pernah secara profesional di suatu perusahaan (non akademis) sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan master. Saat itu pikiran sempit saya merancang selepas master langsung melanjutkan doktor. Tapi takdir berkata lain.
Kehidupan saya di Belgia kala itu merupakan babak baru dalam membuka lembar berikutnya. Seperti efek domino. Cepat sekali dan beruntun tidak bisa dikendalikan. Begini kira-kira: ke Belgia-ketemu jodoh-menikah-hamil-lulus master-ikut suami ke Belanda-melahirkan-… (Dst).
Bahkan ada yang mengatakan: “di usiamu yang semuda ini, kamu sudah begini dan begitu.. Wow hidup yang sibuk.” . Pertama saya setuju dibilang masih muda (yes!). Kedua saya juga setuju dibilang sibuk (sok sibuk sih lebih tepatnya).
Nah, di masa pendidikan master dan maternity leave ini kemudian saya merenung dan menyadari bahwa disiplin ilmu yang saya pelajari dan dipercayakan oleh Allah kepada saya wajib diamalkan. Rancangan saya berubah haluan. Kalaupun saya nanti akan melanjutkan pendidikan doktor, saya harus tahu bagaimana implementasi ilmu ini di lapangan. Saya mau bergerak dari akar rumput hingga menara gading. Saya tidak mau hanya terkenal di konferens dan jurnal keilmuan tapi rakyat masih menagih hasil nyatanya. (Fyi, bidang teknologi pangan memang perlu aplikasi di lapangan. Mungkin disiplin keilmuan lain berbeda). Dan lebih jauh lagi, ada misi besar yang harus dicapai dengan implementasi itu.
Kemudian saya berpikir untuk bekerja. Mencari pengalaman sekaligus berdakwah dan mengaplikasikan ilmu. Tapi saya belum pernah bekerja secara profesional. Ijazah pun tidak cukup kuat dengan profil yang minim pengalaman, bersaing di bursa kerja non domestik, plus saya berjilbab.
Dimulai dari googling, mencari networking, menulis CV dan surat lamaran-mengubah-merevisi sana sini- meminta feedback dari teman dosen dan profesor, berdiskusi dengan suami dan orangtua, dan meluangkan waktu untuk mempersiapkan dokumen di sela kepadatan merawat bayi, saya memulai langkah itu. Pertama, mendapat feedback dari komputer sistem company luar biasa senang rasanya. Meskipun beberapa hari kemudian jawaban akhirnya ditolak. Mulai dari kecewa, putus asa, berprasangka buruk, Inbox email berisi jawaban dari berbagai company dan linkedin, puluhan bahkan ratusan pintu sudah dibuka. Mulai dari wawancara via telepon, datang ke kantor mereka, ditanya kemampuan bahasa belanda, skill dasar keilmuan, bahkan nama anak. Semua nihil.
Ditambah omongan orang sana sini yang mencibir dan pro kontra ibu bekerja. Plus ketidak percayaan beberapa pihak kerabat bahwa saya, suami, dan baby bisa menjadi tim yang kompak dan mengatasi semuanya. Semua dihadapi.
Rasanya semua pintu tertutup dan hanya ada tembok tinggi menjulang.
Saya putus asa. Ingin marah. Kenapa saya dulu tidak bekerja sebelum master, kenapa beberapa pihak dari keluarga meragukan saya dan menganggap kami masih anak kecil, kenapa semua perusahaan ingin saya bisa berbahasa Belanda (yaiyalah) dan kenapa saya tidak bisa lancar berbahasa Belanda selancar berbahasa Inggris atau Indonesia.
Sampai detik saya menulis inipun kejengkelan itu masih terasa. Terutama kepada oknum yang meragukan saya baik secara personal atau profesional.
Tapi selalu ada kebaikan menyertai kesulitan. Suami yang mendukung (ya, suami saya mendukung alhamdulillah. Termasuk bersedia menjadi juru bicara di hadapan keluarga besar(nya)). Saya memiliki kesempatan untuk mengurus Fatih sepenuhnya sampai setahun. Kesempatan mencoba berbagai resep masakan. Mengikuti kursus Belanda intensif, dan menjadi volunteer di berbagai acara ppi.
Tanpa saya sadari bahwa ternyata kegagalan saya adalah rizki. Rizki untuk berkesempatan mencoba, membuka pintu, menulis surat lamaran, membuat cv yang baik, menulis body email, menjalani interview di berbagai media, menerima kekurangan dan menyadari potensi dan minat, merasakan kegagalan untuk bangkit kembali, membangun kepercayaan diri, dan belajar berdiplomasi untuk meyakinkan berbagai pihak tentang langkah ini.
Untuk saya ini sulit meskipun untuk sebagian orang mudah saja. Itu artinya kemudahan adalah rizki bagi mereka, sedangkan rizki bagi saya adalah warna warni rasa perjalanannya. Kalau ada yang bertanya apa rahasianya, saya agak bingung menjawabnya. Karena saya sendiri merasa sulit, tidak punya jurus sakti apapun selain berani melangkah dan berdoa dengan niat ikhlas. Mungkin saya akan menjawab “ya, berani coba aja”. Ugh. Terdengar menyebalkan memang, dan agak non sense. Bisa saja dibalas dalam hati “yaiyalah kalau tidak dicoba ya mana bisa”. Nah memang benar kan, kalau tidak dicoba ya mana bisa. Di percobaan pertama pasti semangat membara, tapi jarang ada yang mau bangkit lagi di tengah kejenuhan melihat kegagalan. Apalagi yang dituntaskan hingga dapat.
Di tengah kejenuhan menghadapi kegagalan, saya tersadar saat membaca quote yang saya kutip di atas. Betapa sombongnya saya, menganggap Tuhan belum mau bermurah hati untuk membukakan pintu riziki-Nya kepada saya. Padahal,,,,,,,,,segala kegagalan dan cerita jatuh bangun ini adalah rizqi. Kerja keras adalah rizqi; sebab tidak semua dianugerahi kemauan untuk terus mencoba, tidak semua dikuatkan untuk bangkit lagi, dan tidak semua dimudahkan untuk bersabar dan mendirikan shalat. Bila semua kemudahan itu saya dapatkan, lalu kenapa saya harus sombong.
Kalau kebandelan saya untuk tidak mau menyerah bisa dikatakan sebagai rizki, maka saya bersyukur sekali karena Allah memberikannya kepada saya. Berterima kasih kepada suami yang menyanggupi untuk bekerja sama sebagai tim agar masing-masing berkembang. (Fyi, untuk yang masih jomblo, kesepahaman antar pasangan tentang konsep pengembangan diri dan keluarga perlu diseragamkan lho). Plus saya ingin meminta maaf kepada pihak yang meragukan saya baik secara langsung atau tidak langsung di ranah personal dan profesional; bahwa dengan segala hormat, keraguan saudara saudari bapak ibu sekalian malah menambah semangat saya membuktikan bahwa hipotesis kalian hmmm perlu dicek ulang.
Kerja keras adalah rizqi, maka berfokuslah pada tugas masing-masing yang perlu dituntaskan dengan kesungguhan hati. Sebab kita tidak dihisab tentang amal orang lain, melainkan amal diri sendiri.
Jangan salahkan setan, memang tugasnya untuk mengganggu. hoho.

Regards,
Yosay Aulia

No comments:

Post a Comment