Wednesday 11 January 2017

Perempuan Rantau (1)

Apa serunya menjadi perempuan rantau? 
Banyak ! 
Perempuan yang berani (atau nekat) meninggalkan kenyamanan keluarga dan tanah airnya, mengejar impiannya, membangun karakter, membuka wawasan, memperluas jalinan persahabatan, dan menghadapi tantangan yang tidak disangka-sangka adalah perempuan yang hebat. Hei, kau pikir tinggal di rantau seindah foto dan senyum sumringah di media sosial? Sayangnya 24jam dikali jumlah hari yang dilalui tidak sama dengan jumlah waktu jalan-jalan dan sensasi berfoto dengan toga. Seringnya, impian yang indah menawan patut dibayar dengan harga yang tidak murah meriah. Mahal. Dengan definisi mahal yang berbeda-beda bagi setiap orang.
Kalimat-kalimat berikut ini pilihan harga mahal yang (biasanya) harus dibayar. Mulai dari gegar budaya, ongkos hidup yang tidak lagi sama, tetangga yang belum tentu ramah, kebiasaan flat mate yang penuh kejutan, sampai kerinduan akan tukang bakso yang lewat di depan rumah. Cuaca yang menguntungkan produsen jamu masuk angin, halte bus yang memicu rasa kangen terhadap (g)ojek, salju yang hanya indah di minggu pertama, (long distance) relationship, atau ketidak mahiran sopan santun dalam berbudi bahasa. Profesor yang galak, kelas yang selalu tepat waktu, budaya diskusi yang sering membuat ciut pribadi yang pemalu, atau ujian yang sulitnya bikin berat badan turun.. Isu toleransi, rindu keluarga dan pasangan, preferensi makanan halal, waktu dan tempat shalat, hingga rindu suara adzan dari menara mesjid kompleks. Sama sekali bukan pilihan yang nyaman.
Lalu apa yang seru ?
Tidak ada kenyamanan dalam bertumbuh, dan tidak ada pertumbahan dalam kenyamanan. Di sana serunya.
Kalau saya boleh mengatakan bahwa kesempatan dan kemampuan menghadapi tantangan adalah rejeki. Maka kemampuan kita membayar harga mahal tersebut adalah rejeki yang hebat. Di perantauan, manusia perlu belajar mengkombinasikan antara bergantung pada teman dan percaya pada diri sendiri. Menjadi kompak dan saling membantu sahabat pasti terjadi, tapi ada beberapa hal yang harus dihadapi sendiri dan membuat kita menjadi lebih percaya diri. Seperti mengatasi rasa takut, keraguan, menulis email resmi kepada profesor, membuat janji, atau mengatasi kerinduan terhadap keluarga.
 Siapa sangka si anak pemalu bisa menjadi moderator bersanding dengan tokoh dunia di satu panggung, atau si anak malas jadi sangat rajin berolah raga setiap akhir pekan, lain lagi si anak mami yang hanya bisa jajan tiba-tiba membuka usaha katering, atau kita melihat diri sendiri menjadi lebih cerdas bertoleransi,  atau anak cewek manja yang kamarnya selalu berantakan bisa sangat rapi menata rumah. Atau si anak kaku bisa sangat pandai bergaul dengan siapa saja.
Dan para perempuan berpendidikan tinggi di luar negeri, kenapa mereka harus ditakuti?
Mereka independen, bisa bekerja sama, penuh toleransi, mau belajar, cerdas mengatur keuangan dan (tentunya) merencanakan liburan, (biasanya) jago memasak, pekerja keras, dan ia akan menjadi ibu yang berkarakter kuat bagi anak-anaknya. Perempuan yang merantau itu telah mampu menaklukkan dirinya dan berdamai dengan segala kesulitan yang dihadapi. Tahan banting. Sehingga tidak perlu ada keraguan dalam mengajaknya berumah tangga yang tentu penuh tantangan dan sensasi di dalamnya. 
(Seringnya) harga mahal tidak berbohong. Kesulitan dan tantangan yang dihadapi dengan sikap positif akan menjadi ajang asah kepribadian dan karakter. Sehingga sepulang ke tanah air, keahlian yang tertulis di ijazah bisa lebih berdaya sebab diemban oleh pribadi berkarakter kuat dan penuh empati. 
(Seringnya juga), setelah mampu menghadapi tantangan di perantauan, kita perlu mengasah lagi kemampuan mengahadapi tantangan di tanah air. Sebab mereka telah percaya dan menunggu. Ya, mereka percayakan kesempatan  untuk menikmati kemewahan pendidikan tinggi (yang sebenarnya bisa saja mereka tempuh) untuk diberikan kepada kita. Dan mereka menunggu kita pulang untuk menjadi jawaban.
Semoga, pertanyaan mereka tidak terjawab (hanya) oleh istilah ilmiah mahadewa yang terlihat indah di atas kertas, namun bisa diracik oleh tangan terampil dan hati yang penuh empati sehingga bisa dinikmati oleh semua kalangan.
Ya, kata om-nya spiderman, di balik kekuatan ada tanggung jawab besar.
 Jangan takut merantau, dan jangan takut kembali ke tanah air ! 
(notes: this is sooo self plak! for me)
Groningen, Desember 2015
Regards,
Yosay Aulia  

No comments:

Post a Comment