Thursday, 9 February 2017

Dream Board

Secara resmi, saya baru mulai membuat dan memiliki dreamboard ketika mengikuti pelatihan pengembangan diri di kampus dulu. Sebelumnya, selama ini saya hanya berani menuliskan impian dan target saya di buku harian. Suatu kebiasaan yang terbangun sejak kelas 4 SD, sampai sekarang.
Menegangkan sekaligus sensasional. Kenapa? Karena meskipun selama ini saya termasuk pemimpi ulung, namun keberanian saya hanya terbatas di buku harian dan orang-orang terdekat. Untuk kali ini, pertama kalinya saya harus berani menetapkan target, kemudian menceritakannya kepada orang lain.
Tanpa saya sangka, perasaan yang mendominasi sangat kontemplatif. Alih-alih berfokus untuk menceritakan impian saya kepada orang lain, saya justru mengalami pergulatan dan perjalanan yang jauh sekali di dalam diri saya. Perjalanan itu dimulai dengan meruntuhkan tembok hasil percampuran prasangka dan gengsi.
Saat itu, antusiasme berbagi bercampur dengan ketakutan dihujat atau dicap berlebihan. Tapi setelah menjalaninya, saya sadar akan kekeliruan itu. Begitu tembok itu terdobrak, semuanya mengalir dengan sangat menyenangkan, bahkan saya menjadi percaya diri dan tidak menyangka dengan keberanian itu. Kabar baiknya, saya pun jadi ikut bahagia mendengarkan impian orang lain. Sebab saya ikut berempati, bahwa orang lain yang telah berani menceritakan impiannya kepada saya, ia telah berhasil memenangkan pergulatan batinnya sendiri.

***

Selain buku harian, saya menuangkan impian saya di blog. Saya ingat sekali, impian itu berjudul Yosay in 10 years terhitung dari 2011. Impian yang tertulis dengan perbandingan imajinasi: spontanitas: perhitungan = 90:4:1. Lega sekali setelah menuliskannya, saya merasa saat itu hati, tangan, dan pikiran saya digerakkan Sang Perencana, sehingga saya begitu yakin dan nekat melakukannya. Saat itu, blogging belum terlalu hits seperti sekarang, jadi saya cukup berani menuliskannya karena saya pikir akan sedikit orang yang membacanya.
Saya tidak menyangka ternyata beberapa orang yang saya kenal membacanya, dan membahasnya di depan saya. Barulah saat itu rasanya saya ingin jadi liliput. Malu, dan takut dihujat atau dihina.

***

Beberapa orang memberikan saya julukan si ambisius atau achiever. Beberapa lagi mengatakan saya fierce, karena impian saya yang terlalu muluk-muluk. Kalau mood saya sedang baik, semua saya tanggapi dengan santai. Namun, kadang omongan orang lain membuat ketidak nyamanan tersendiri dan ketakutan dalam hati. Sehingga saya berpikir, mungkin itu salah satu penyebabnya beberapa dari kita enggan bermimpi, atau mempublikasikan cita-citanya. Saya juga berpikir, sebaiknya saya tidak boleh melakukan demotivasi (istilah pak suklat) terhadap impian dan rencana orang lain.
Namun, kesukaan saya terhadap biografi tokoh-tokoh inspiratif yang sukses dalam berkarya bagi umat manusia membawakan satu kesimpulan yang sama. Mereka berani bermimpi, berani membela impiannya, berani mengambil resiko untuk mewujudkannya, dan bertanggung jawab dalam menjalankannya. Mereka yakin terhadap cita-cita dan impiannya, sehingga mereka mau memperjuangkannya.
Kesamaan lainnya adalah, meskipun mereka tentu pernah jatuh, sakit, dan terluka dalam prosesnya, mereka bangkit lagi. Bahkan, menjadikan cemoohan orang lain sebagai energi yang besar untuk membuktikan kemampuan mereka. Tidak, ini bukan sweet revenge. Ini adalah murni sebuah bentuk tanggung jawab dan keyakinan.
Yang saya pahami, impian dan cita-cita yang mulia adalah sebuah bentuk misi yang dititipkan Allah di hati kita. Kita perlu memperjuangkannya dengan penuh keyakinan dan menjalaninya penuh tanggung jawab.

Ayo bangun, dan wujudkan impianmu :)

Regards,
Yosay Aulia

Sunday, 29 January 2017

Yuk Jadi Pahlawan di Dapur

Tulisan kali ini dibuat karena beberapa alasan utama.
1. dalam rangka memperingati Hari Gizi dan Makanan Nasional pada tanggal 25 Januari lalu
2. sebagai ibu rumah tangga yang juga tengah bekerja dan menjalani perantauan bersama keluarga kecil di Benua Eropa, tentu memenuhi kebutuhan pangan menjadi prioritas. Apalagi kondisi cuaca yang sangat mudah berubah sangat rentan membuat tubuh jadi mudah sakit. Kondisi yang jauh dari tanah air juga sering membuat kami rindu masakan khas nusantara misalnya dendeng lado ijo, pempek, otak-otak, sate padang, dan martabak manis. Intinya keadaan yang mendesak seperti itu membuat saya termotivasi untuk jadi pahlawan (minimal) di dapur sendiri. Saya tertantang untuk bisa menyiapkan masakan yang lezat, sehat, sekaligus dapat mengobati kerinduan akan makanan khas Indonesia. Karena kalau terlalu sering jajan di restoran Indonesia di Belanda, yang harganya lumayan menguras kantong, maka kondisi moneter keluarga bisa terancam.
Maka, berdasarkan kedua alasan tersebut, saya ingin berbagi trik agar dapat memenuhi permintaan keluarga (kadang juga teman dan seringnya sih saya sendiri) di tengah kondisi yang menjepit.
1. Beranikan diri untuk memasak, dimulai dari makanan kesukaan sendiri atau kesukaan suami/ orang terdekat. Saya sendiri memulai eksperimen memasak dengan intensif setelah menikah. Eksperimen sebelum menikah saya anggap 80% lebih banyak gagal daripada berhasil. Tapi karena masih single, jadi itu bukan masalah besar.
Misalkan, suami saya suka sate padang, saya penyuka jajanan khas Bandung dan makanan pedas. So, saya mulai berani mencoba membuat masakan tersebut.
Bisa juga dimulai dari memasak makanan kesukaan yang sederhana. Misalnya, nasi goreng, sop, atau semur ayam. Semuanya bisa diperbaiki dengan mudah jikalau rasanya agak kurang sesuai ekspektasi.

2. Mengikuti komunitas memasak, bertanya pada seseorang yang masakannya cocok di lidah kita, dan mengikuti akun media sosial yang suka berbagi resep karya masakannya. Itu semua adalah cara saya mendapatkan resep andalan. Kadang-kadang, satu masakan ada beberapa versi resep. Maka saya coba semua resep dimulai dari yang paling sederhana atau yang ada bahannya di rumah. Nah, nanti kita akan tau sendiri resep mana yang paling pas di lidah keluarga.
Komunitas memasak dan akun yang saya ikuti ada yang di laman facebook, ada yang di instagram.
Facebook: langsung enak, NCC
instagram: icha.irawan, doyancooking, doyanbaking, ayudiahrespatih, xanderskitchen, dan kawan-kawan saya yang jago masak sering saya todong resepnya. hehe.

3. Membuat list masakan dan buku resep andalan keluarga. Meskipun saat ini kita hidup di era digital yang hampir semua resep mudah tersimpan di gawai, tapi kadang-kadang kerusakan tidak bisa dielakkan. Maka, sistem tradisional ala nenek kita jaman dahulu dalam membuat buku resep keluarga, menjadi sangat memudahkan untuk membuka resep dan langsung mempraktekannya tanpa khawatir ia akan mati atau hilang.

4. Membuat stok masakan dan bumbu dasar untuk beberapa bulan. Saya sering membuat stok bumbu dapur yang ditumis dan bisa disimpan dalam kulkas sampai 3 bulan. Untuk saya yang hidup di negara 4 musim, artinya tiap pergantian musim saya menginvenstasikan waktu 3 jam untuk menghemat waktu 3  bulan ke depan. Sangat efisien.
Stok bumbu yang saya rekomendasikan adalah: bumbu dasar putih, kuning, dan merah. Bumbu dasar merah bisa diganti dengan tumisan cabai merah dan tomat. Bumbu dasar putih adalah yang (untuk saya) paling sering digunakan, jad stoknya harus paling banyak. Resep bumbu dasar itu saya dapat dari Rudi Khoirudin (bisa dicari di google).
Selain praktis dan hemat waktu, bumbu yang disimpan itu (asalkan tidak basi) bisa membuat rasa masakan lebih mantap.

5. Membuat komunitas dengan sesama mamah muda untuk saling belajar memasak dan bertukar resep. Selain menjadi ajang silaturahmi dan me time ala perempuan, belajar masak dan mempraktekannya bersama ini memberi kebahagiaan tersendiri. Yang pasti para suami juga nantinya akan mendapatkan efek positifnya. Perut kenyang, hati senang.

6. Kalau ada kesempatan bersilaturahmi, atau acara potluck party, usahakan membuat masakan andalan. Masakan andalan tidak perlu yang heboh, menghabiskan waktu, tenaga, dan biaya. Yang penting kita PD dan tulus. Insyaallah makanan kita akan laku keras dan siapa tahu jadi pintu rejeki buat kita (baca: ada yang pesen dalam jumlah besar. heheh).

7. Terus menerus belajar dan jangan pedulikan omongan yang membuatmu tidak PD untuk bereksplorasi. Percayalah, memiliki koleksi lengkap bumbu masak yang tersusun rapi di rak dapur adalah kebahagiaan hakiki mamah muda masa kini. Plus, semakin sering praktek, maka isi buku resep akan berpindah ke kepala, lidah, dan tangan kita.

Saat ini saya masih jauh dari jago masak. Saya masih berpetualang di rasa yang pas di lidah saya saja atau makanan yang saya suka saja. Tapi itu proses yang saya nikmati, karena saya tidak mengejar target yang wow dalam hal ini. Motivasi saya sangat sederhana, yaitu anak dan suami saya doyan masakan saya. Itu aja.
Motivasi lain, karena saya belajar Teknologi Pangan, masak saya gabisa masak sih. Pasti seru kalau saya bisa menganalisi fakta ilmiah di balik setiap komposisi dan proses memasak. Saya juga belajar bahwa makanan yang paling baik nutrisinya itu sebenarnya yang dibuat langsung dari rumah.
Anyway, meskipun memasak itu bukan untuk perempuan atau laki-laki saja, nggak ada salahnya membahagiakan keluarga dengan makanan yang enak dan sehat. 
Sebab ketahanan pangan suatu bangsa dimulai dari keluarga. (nyambung gak?)
Regards,
Yosay Aulia

Wednesday, 11 January 2017

Adab Menerima Tamu

Selanjutnya adalah adab menerima tamu, yang tentu tidak lepas dari tulisan sebelumnya. Tentang travelling dan bertamu. Hal yang juga penting karena memuliakan tamu adalah ciri khas orang beriman.
1. Menjaga komunikasi kedatangan. Mirip dengan perihal kita sebagai tamu, sebagai tuan rumah pun perlu proaktif menanyakan bantuan dan menginformasikan kondisi kita. Misalnya menawarkan penjemputan, menyediakan dokumen pendukung persiapan (invitation visa application), dan menginformasikan alamat (ini yang paling penting). Bila kita memiliki bayi, perlu diberitahu juga bahwa ia akan menangis di waktu tertentu.
2. Mempersiapkan ruang / kamar istirahat. Misalnya mengganti sprei, membersihkan dari hal-hal yang tidak menyenangkan, dan membuatnya harum dan rapi. Pastikan tamu senang dan bisa beristirahat dengan tenang.
3. Menyiapkan handuk dan beberapa alat mandi jika diperlukan.
4. Mengajak berinteraksiJangan dicuekin karena alasan sibuk, apalagi ditinggal main games, gadget, atau nonton tv asik sendiri. Sebagai tamu pasti dia kikuk dan bingung harus mencari topik pembicaraan. Lebih bagik lagi jika menyediakan peta dan menjadi tour guide untuk jalan-jalan. Intinya, dilarang membuat tamu menganggur !!
5. Jangan membuat tamu menunggu lama ! Apalagi harus menunggu mandi dan bangun tidur. Mereka sudah jauh-jauh datang di waktu yang disepakati untuk berkunjung, kenapa harus dibuat semakin lelah menunggu? Sopan kah itu ?
6. Sediakan makanan kesukaan atau berikan jamuan terbaik yang kita mampu. Jangan seadanya.
7. Bila ada tamu yang menginap dalam waktu lebih dari 3 hari, beritahu apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Batas dan peraturan yang perlu ditaati bersama dan menjaga keamanan dan kenyamanan bersama.
8. Bicarakan topik yang menyenangkan bagi tamuHindari terlalu banyak bercerita tentang diri sendiri dan membanggakan kelebihan keluarga sendiri. Bukan hanya tamu, siapakah yang tahan mendengar itu semua?
9. Berterima kasih telah dikunjungi dan meminta maaf atas kekurangan dalam menjamu.

Semoga bermanfaat

Regards,
Yosay Aulia

Adab Bertamu dan Travelling

Travelling atau yang disebut jalan-jalan adalah hal yang paling nge-hits belakangan ini. Sejak tiket pesawat lebih terjangkau dan “everyone can fly”, sejak ada beasiswa yang bisa mewujudkan cita-cita ke luar negeri, sejak ada gopro dan media sosial yang bisa menjadi ajang promosi atau sharing, sejak zaman Ibnu Batutah sih sebenernya. Tapi maksud saya, belakangan ini travelling menjadi gaya hidup tersendiri. Bahkan beberapa keluarga (termasuk saya) menganggarkan travelling dalam keuangan keluarga.
Ketika berjalan-jalan, biasanya kita tidak hanya singgah di satu kota, biasanya kita tidak hanya menghabiskan 1 hari. Ada kalanya kita perlu menginap dan berpindah tempat dari satu kota ke kota lain. Bisa menginap di hotel,hostel,atau apartemen (terima kasih kepada Brian Chesky), bisa juga nebeng. Intinya kegiatan travelling tidak lepas dari kegiatan bertamu.
Sebenarnya saya belum menjadi traveller sejati yang sudah menjelajahi berbagai belahan dunia dan melihat keindahan ciptaan-Nya. Saya masih merasa newbie meskipun tidak se newbie dulu. Selain persiapan pribadi, adab juga perlu dipersiapkan dan diperhatikan. Jangan sampai kedatangan kita sebagai tamu meninggalkan kesan menyebalkan dan membuat kapok tuan rumah.
1. Kedatangan.
Pastikan kita berkomunikasi dengan baik dan jelas perihal kedatangan terhadap tuan rumah. Ini penting karena kita bisa memberi waktu kepada tuan rumah untuk mempersiapkan diri menyambut tamu. Yang perlu diberitahu biasanya hari dan jam kedatangan, moda transportasi dan tempat mendarat, dan berapa jumlah orang atau bawaan yang bersama kita. Penting! Jangan berlaku egois dengan seenaknya menentukan jam kedatangan tanpa berkomunikasi terlebih dahulu apakah itu terlalu larut atau terlalu pagi (galak banget ya). Kenapa? Karena belum tentu tuan rumah sanggup menjemput, belum tentu punya kendaraan pribadi, dan belum tentu transportasi umum mudah ditemui. Bila memang terpaksa harus datang di waktu yang sulit (sebab biasanya harganya lebih murah), usahakan kita bersikap mandiri. Entah berusaha mencapai tujuan dengan taxi atau menunggu sebentar di bandara atau stasiun sebelum dijemput. Terlebih bila tuan rumah memiliki bayi sedangkan harus menjemput di larut malam. Bukan hanya si bayi yang terganggu, tetangga juga bisa terganggu. Inilah pentinganya menjalin komunikasi dengan tuan rumah perihal kedatangan. Agar tidak ada yang merasa disulitkan. Ingat ya, mereka sudah berbaik hati lho mau menerima kita.

2. Be light and be prepared!
Selain dokumen penting, baju, dan obat pribadi, hal yang tidak kalah penting adalah sabun cuci baju dan kantong plastik. Ketika travelling, kita tidak mungkin membawa seluruh isi lemari untuk memenuhi kebutuhan pakaian. Ada teknologi bernama detergent dan kantong plastik (atau kantong kain juga boleh supaya ramah lingkungan) yang berguna agar kita bisa mencuci pakaian dalam (setidaknya) secara mandiri dan tidak bergantung pada jadwal mencuci tuan rumah. Penting! Jangan sampai kita seolah-olah menyuruh tuan rumah mencuci pakaian kita, dan jangan sampai kita meninggalkan pakaian (dalam) kotor (atau belum kering) di tuan rumah karena kita tidak membawa kantong baju kotor !!!! Setinggi apapun pendidikan kita, hal satu itu sukses menciptakan kesan “iyuuuhh” pada tuan rumah meskipun ia berkata baik-baik saja.
Bawalah baju secukupnya dengan teknik menggulung. Itu akan membuat baju lebih rapi dan menghemat banyak ruang. Plus, kita tidak perlu bawa setrika ! Jika kita travelling bersama bayi, pastikan membawa cukup popok, susu (atau botol susu), mainan kecil, obat pribadi, termometer dan baju ganti. Untuk popok, sedikit dilebihkan tidak masalah, tapi bawalah baju secukupnya (tidak perlu semua dibawa). Ingat, travelling bersama bayi bukan berarti harus repot dan membawa banyak barang.

3. Jika ada dokumen yang perlu dipersiapkan terkait travelling, persiapkan dengan baik. Misalnya aplikasi visa yang membutuhkan beberapa dokumen pendukung dari negara asal. Biasanya kita perlu berkoordinasi dengan tuan rumah terkait dokumen tersebut. Penting!!! Jangan mempersiapkan dalam injury time sehingga membuat panik semua kalangan. Alasan tidak sempat dan tidak punya waktu sudah terlalu basi untuk didengar
Ayolah, lagi-lagi ini bukan tentang pendidikan tinggi, ini tentang seberapa baik kita bisa mengatur diri sendiri. 
Biasanya yang mempersiapkan di waktu yang mepet cenderung tidak sopan dan memarahi tuan rumah dalam bertanya, padahal kemepetan itu diciptakannya sendiri akibat suka menunda pekerjaan.
4. Jaga kebersihan dan kerapian rumah termasuk ketika meninggalkan baik untuk sementara atau setelah usai menginap. Terutama kamar tidur, dapur, dan kamar mandi yang merupakan ruang penting dalam memenuhi kebutuhan primer. Bila tuan rumah memiliki kamar mandi kering, jangan jadikan ia basah. Keringkan kembali bekas mandi kita. Dan jangan protes kenapa tuan rumah memiliki kamar mandi kering (nah kenapa jadi tamunya yang protes). Penting! Langsung cuci kembali piring dan bekas makan kita. Ringankan pekerjaan tuan rumah.
5. Meminta izin dan meminta arahan sejak awal. Misalnya terkait penggunaan kamar mandi, mesin cuci, dapur, penghangat ruangan, dan hal-hal penting lainnya. Pertama kali datang, hal yang perlu ditanyakan adalah kapan boleh ke kamar mandi dan dapur. Sebab itu terkait dengan privasi dan kebutuhan tuan rumah. 
Patuhi peraturan, percayakan pada tuan rumah, dan terima sajian yang disiapkan tuan rumah. Kita adalah tamu yang singgah, sepantasnyalah mematuhi peraturan yang ada. hindari sok tahu apapun posisi dan setinggi apapun pendidikan kita.
Penting! Jangan minta ini itu bila tuan rumah telah menyiapkan sajian. Selain memberatkan, hal itu membuat tuan rumah merasa tidak dihargai. Jangan sampai kita lancang mengusik apa yang dimasak tuan rumah, terlebih lancang menggunakan dapur sebelum minta izin hanya karena ingin makan sesuatu (di luar sajian yang disiapkan). Mungkin niat kita baik untuk bisa berinteraksi dengan tuan rumah, tapi tidak semua orang suka dicampuri dapurnya tanpa izin.

6. Jika tuan rumah memiliki bayi, jaga otoritas orangtuanya dan kebersihan kita. Jangan langsung menggendong bayi bila kita baru saja datang!! Cuci tangan dulu dong karena bayi masih sangat rentan dengan penyakit dan kuman yang kita bawa dari perjalanan jauh. Mohon izin sebelum menggendong atau mengajak bermain, kecuali sudah dipercayakan. Jangan memberi kebiasaan baru seperti memberi makanan manis, gendong sana sini, atau kebiasaan lain yang bisa menyulitkan orang tuanya sepulang kita.
Selucu apapun, ia tetap anak orangtuanya, bukan anak kita. Pastikan orangtuanya mengizinkan kita terlebih dahulu.

7. Membawakan buah tangan untuk tuan rumah meskipun tidak diminta. Ini adalah wujud terima kasih dan sopan santun. Jangan datang dengan tangan kosong.
8. Bila harus pergi bersama tuan rumah, pastikan kita yang lebih dulu siap. Jangan sampai agenda tuan rumah jadi terhambat karena kita menunda dalam persiapan diri. Lebih baik, komunikasikan dan sepakati waktu keberangkatan sejak awal agar sama-sama bisa menyiapkan diri sendiri.
9. Berterima kasih karena telah diijinkan menginap dan meminta maaf untuk hal-hal yang kurang berkenan setelah mengakhiri masa menumpang.

Sedekat apapun hubungan kita dengan tuan rumah, tamu adalah tamu. Menjadi tamu yang beradab adalah cerminan moral yang baik.

Regards,

Yosay Aulia

Terima Kasih Indonesia

Tahun 2015 saya akhiri di Munchen bersama keluarga dalam agenda liburan musim dingin. Entah karena lupa atau tidak riset sebelumnya, kami baru sadar bahwa di malam tahun baru dan tahun baru semua toko tutup. Kami hanya makan bekal seadanya dan popok Fatih tinggal dua! Padahal perjalanan masih 2 hari lagi, artinya kami butuh minimal 6 popok untuk Fatih.
Kemudian agenda perjalanan selanjutnya berisi mencari popok dan toko yang masih buka. Nihil. Alhasil pulang ke penginapan dengan tangan hampa. Harap harap cemas semoga esok masih ada toko yang buka dan menjual popok bayi.
Dalam perjalanan pulang, kami melihat pemandangan yang mengiris hati. Pertama karena pemandangannya. Kedua karena saya tidak bisa berbuat apa-apa. Pengungsi dari Suriah. Keluarga dengan dua orang anak berusia sekitar 7 dan 4 tahun. Entah kapan mereka datang ke Munchen, tapi mereka masih bersama koper dan beberapa barang bawaan. Menunggu di sudut stasiun. Dipandangi oleh orang yang lalu lalang. Memandangi keterasingan. Serba salah entah mau kemana yang pasti tak mungkin kembali. Pulang? Pulang kemana? Dingin mencekam. Mungkin lapar (bodohnya saya tidak terpikir untuk sekedar membelikan roti). Oke ketika menulis ini tiba-tiba saya ingin kembali ke fragmen itu untuk sekedar memberikan sebungkus makanan.
Di luar sana terdengar suara kembang api perayaan tahun baru. Mungkin bagi mereka itu sudah biasa karena pernah mendengar yang lebih memekakkan telinga.
Di pikiran orang lain (saya), ada kekalutan akan habisnya popok bayi. Oh! Dimana nurani saya saat itu. Tiada popok, fatih masih bisa hidup bahagia. Pun saat itu masih ada dua. Arah pulang kami masih bertujuan. Perut sudah terganjal. Baju masih hangat. Orang tidak memandang kami sebelah mata Tapi mereka?
Saya sering menegur diri sendiri lewat tulisan. Teguran kali ini betapa saya lupa bersyukur terhadap dua hal.
Yang pertama terhadap nikmat yang masih ada. Plus semoga keluarga mereka segera mendapatkan tempat berteduh yang layak dan kemanan yang cukup.
Yang kedua terhadap Indonesia. Seburuk apapun kekecewaan saya terhadap beberapa aspek bangsa sendiri, saya masih bisa bersyukur bahwa: masih ada harapan dan kedamaian. Setidaknya saat ini dan masa depan.
Terima kasih Indonesia, setidaknya saat ini saya tidak malu mengaku sebagai bangsa Indonesia di hadapan bangsa lain. Setidaknya saya masih punya cerita bagus yang layak didengar. Setidaknya ada yang bilang saya beruntung hidup di sana (karena iklim dan bentang alam yang seperti surga).
Semoga saya dan siapapun yang membaca ini bisa menambah cerita baik tentang tanah tumpah darah.
Nb : fatih juga tetep jadi bangsa Indonesia ya baby !
Regards,
Yosi Ayu Aulia

Kerja Keras adalah Rizki

Maha Besar dan Maha Luas rizqi-Nya, selalu di luar pemahaman manusia.

Para kekasih Allah memahami, baik rizqi yang mereka nikmati maupun kerja yang mereka baktikan; keduanya adalah karunia Rabb mereka, untuk disyukuri dan diihsankan. (Salim A Fillah, 2014– Lapis-lapis Keberkahan; bab Setitis Rizqi)

Sebagian besar manusia menganggap rizki adalah sesuatu yang berwujud materi, atau hal-hal yang terlihat kasat mata secara duniawi. Misalnya, rekening, jumlah anak, jumlah rumah dan tanah, kendaraan, pekerjaan, jabatan, kerabat, dan networking.
Semua itu memang benar merupakan bentuk rizki. Tidak ada yang salah.
Tapi saya beberapa kali tercenung dengan suatu konsep yang menggembirakan dalam fase krisis seperempat abad. Yakni, kerja keras adalah rizki.
Ya, selain kesehatan dan waktu luang yang mutlak merupakan rizki, kerja keras pun demikian.
***
Selepas lulus pendidikan sarjana, saya terhitung belum pernah secara profesional di suatu perusahaan (non akademis) sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan master. Saat itu pikiran sempit saya merancang selepas master langsung melanjutkan doktor. Tapi takdir berkata lain.
Kehidupan saya di Belgia kala itu merupakan babak baru dalam membuka lembar berikutnya. Seperti efek domino. Cepat sekali dan beruntun tidak bisa dikendalikan. Begini kira-kira: ke Belgia-ketemu jodoh-menikah-hamil-lulus master-ikut suami ke Belanda-melahirkan-… (Dst).
Bahkan ada yang mengatakan: “di usiamu yang semuda ini, kamu sudah begini dan begitu.. Wow hidup yang sibuk.” . Pertama saya setuju dibilang masih muda (yes!). Kedua saya juga setuju dibilang sibuk (sok sibuk sih lebih tepatnya).
Nah, di masa pendidikan master dan maternity leave ini kemudian saya merenung dan menyadari bahwa disiplin ilmu yang saya pelajari dan dipercayakan oleh Allah kepada saya wajib diamalkan. Rancangan saya berubah haluan. Kalaupun saya nanti akan melanjutkan pendidikan doktor, saya harus tahu bagaimana implementasi ilmu ini di lapangan. Saya mau bergerak dari akar rumput hingga menara gading. Saya tidak mau hanya terkenal di konferens dan jurnal keilmuan tapi rakyat masih menagih hasil nyatanya. (Fyi, bidang teknologi pangan memang perlu aplikasi di lapangan. Mungkin disiplin keilmuan lain berbeda). Dan lebih jauh lagi, ada misi besar yang harus dicapai dengan implementasi itu.
Kemudian saya berpikir untuk bekerja. Mencari pengalaman sekaligus berdakwah dan mengaplikasikan ilmu. Tapi saya belum pernah bekerja secara profesional. Ijazah pun tidak cukup kuat dengan profil yang minim pengalaman, bersaing di bursa kerja non domestik, plus saya berjilbab.
Dimulai dari googling, mencari networking, menulis CV dan surat lamaran-mengubah-merevisi sana sini- meminta feedback dari teman dosen dan profesor, berdiskusi dengan suami dan orangtua, dan meluangkan waktu untuk mempersiapkan dokumen di sela kepadatan merawat bayi, saya memulai langkah itu. Pertama, mendapat feedback dari komputer sistem company luar biasa senang rasanya. Meskipun beberapa hari kemudian jawaban akhirnya ditolak. Mulai dari kecewa, putus asa, berprasangka buruk, Inbox email berisi jawaban dari berbagai company dan linkedin, puluhan bahkan ratusan pintu sudah dibuka. Mulai dari wawancara via telepon, datang ke kantor mereka, ditanya kemampuan bahasa belanda, skill dasar keilmuan, bahkan nama anak. Semua nihil.
Ditambah omongan orang sana sini yang mencibir dan pro kontra ibu bekerja. Plus ketidak percayaan beberapa pihak kerabat bahwa saya, suami, dan baby bisa menjadi tim yang kompak dan mengatasi semuanya. Semua dihadapi.
Rasanya semua pintu tertutup dan hanya ada tembok tinggi menjulang.
Saya putus asa. Ingin marah. Kenapa saya dulu tidak bekerja sebelum master, kenapa beberapa pihak dari keluarga meragukan saya dan menganggap kami masih anak kecil, kenapa semua perusahaan ingin saya bisa berbahasa Belanda (yaiyalah) dan kenapa saya tidak bisa lancar berbahasa Belanda selancar berbahasa Inggris atau Indonesia.
Sampai detik saya menulis inipun kejengkelan itu masih terasa. Terutama kepada oknum yang meragukan saya baik secara personal atau profesional.
Tapi selalu ada kebaikan menyertai kesulitan. Suami yang mendukung (ya, suami saya mendukung alhamdulillah. Termasuk bersedia menjadi juru bicara di hadapan keluarga besar(nya)). Saya memiliki kesempatan untuk mengurus Fatih sepenuhnya sampai setahun. Kesempatan mencoba berbagai resep masakan. Mengikuti kursus Belanda intensif, dan menjadi volunteer di berbagai acara ppi.
Tanpa saya sadari bahwa ternyata kegagalan saya adalah rizki. Rizki untuk berkesempatan mencoba, membuka pintu, menulis surat lamaran, membuat cv yang baik, menulis body email, menjalani interview di berbagai media, menerima kekurangan dan menyadari potensi dan minat, merasakan kegagalan untuk bangkit kembali, membangun kepercayaan diri, dan belajar berdiplomasi untuk meyakinkan berbagai pihak tentang langkah ini.
Untuk saya ini sulit meskipun untuk sebagian orang mudah saja. Itu artinya kemudahan adalah rizki bagi mereka, sedangkan rizki bagi saya adalah warna warni rasa perjalanannya. Kalau ada yang bertanya apa rahasianya, saya agak bingung menjawabnya. Karena saya sendiri merasa sulit, tidak punya jurus sakti apapun selain berani melangkah dan berdoa dengan niat ikhlas. Mungkin saya akan menjawab “ya, berani coba aja”. Ugh. Terdengar menyebalkan memang, dan agak non sense. Bisa saja dibalas dalam hati “yaiyalah kalau tidak dicoba ya mana bisa”. Nah memang benar kan, kalau tidak dicoba ya mana bisa. Di percobaan pertama pasti semangat membara, tapi jarang ada yang mau bangkit lagi di tengah kejenuhan melihat kegagalan. Apalagi yang dituntaskan hingga dapat.
Di tengah kejenuhan menghadapi kegagalan, saya tersadar saat membaca quote yang saya kutip di atas. Betapa sombongnya saya, menganggap Tuhan belum mau bermurah hati untuk membukakan pintu riziki-Nya kepada saya. Padahal,,,,,,,,,segala kegagalan dan cerita jatuh bangun ini adalah rizqi. Kerja keras adalah rizqi; sebab tidak semua dianugerahi kemauan untuk terus mencoba, tidak semua dikuatkan untuk bangkit lagi, dan tidak semua dimudahkan untuk bersabar dan mendirikan shalat. Bila semua kemudahan itu saya dapatkan, lalu kenapa saya harus sombong.
Kalau kebandelan saya untuk tidak mau menyerah bisa dikatakan sebagai rizki, maka saya bersyukur sekali karena Allah memberikannya kepada saya. Berterima kasih kepada suami yang menyanggupi untuk bekerja sama sebagai tim agar masing-masing berkembang. (Fyi, untuk yang masih jomblo, kesepahaman antar pasangan tentang konsep pengembangan diri dan keluarga perlu diseragamkan lho). Plus saya ingin meminta maaf kepada pihak yang meragukan saya baik secara langsung atau tidak langsung di ranah personal dan profesional; bahwa dengan segala hormat, keraguan saudara saudari bapak ibu sekalian malah menambah semangat saya membuktikan bahwa hipotesis kalian hmmm perlu dicek ulang.
Kerja keras adalah rizqi, maka berfokuslah pada tugas masing-masing yang perlu dituntaskan dengan kesungguhan hati. Sebab kita tidak dihisab tentang amal orang lain, melainkan amal diri sendiri.
Jangan salahkan setan, memang tugasnya untuk mengganggu. hoho.

Regards,
Yosay Aulia