Friday 10 August 2012

catatan 22 tahun


Saya selalu tersenyum penuh syukur bila mengingat bilangan usia kehidupan saya. Betapa Tuhan memang ingin saya hidup di dunia..


Harapan itu Bernama Keluarga


22 tahun bukanlah waktu yang singkat bagi harapan yang hampir musnah bagi seorang ibu muda yang melahirkan bayi mungil prematur. Bayi yang lahir tanpa tangis dan kondisi tubuh yang masih belum layak lahir. Bayi yang tidak dapat menikmati kolostrum ASI ibunya di masa awal menyusui, akibat saluran cerna nya yang belum siap. Bayi yang baru siap menyusu ketika berusia hampir sebulan. Bayi yang divonis idiot oleh seorang dokter anak. Tuhan ingin bayi itu hidup. Ibunya punya cinta luar biasa untuk bayi mungil itu.

22 tahun juga bukanlah usia yang singkat bagi seorang ayah yang bekerja membanting tulang demi terpenuhinya kebutuhan gizi si anak yang tumbuh tidak normal. Pertumbuhan rambut lambat, sakit-sakitan, nafsu makan rendah, dan luar biasa nakal. Bocah kecil yang berhasil melewati masa kritisnya itu ternyata harus melewati masa kritis berikutnya : pembentukan karakter. Keterbatasan fisiknya membuat ia sangat dimanja di awal pertumbuhannya, sehingga ia tumbuh menjadi bocah yang nakal. Meskipun ternyata, alhamdulillah, ternyata tidak idiot. Orang tua nya sangat senang melihat kegagalan vonis sang dokter, mereka menikmati kenakalan bocah kecilnya, membiarkannya berekspresi dan berkreasi, memakan banyak korban kenakalan. Di saat kritis itulah, sang ayah mengajarkan anaknya : membaca alquran. Dan sang ibu mengajarkannya : membaca.

Beruntungnya anak itu, mendapatkan contoh nyata tentang sekolah pertama baginya : orang tua. Ia mahir membaca sebelum TK, menghapal surat pendek dan ayat kursi sejak kanak-kanak, dan bertanya tentang kemajuan suatu bangsa sejak duduk di bangku TK. Pendidikan agama pertamanya dimulai sejak sebelum TK. Belajar gerakan shalat, bertanya arti Tuhan, bertanya siapa itu Muhammad. Pertanyaan dijawab dengan keteladanan : mengaji setiap hari, doa sehari-hari,  dan shalat berjamaah.

Sang ibu memunculkan idola Pak Habibie di benak anaknya : "Beliau orang pintar, nak. Makanya ia bisa berguna dimana-mana". Mata kecil anak itu hanya mengerjap kagum tanpa paham sepenuhnya, mengangguk. Sang ayah memberikan arti keteladanan : mengaji setiap hari, shalat berjamaah, figur-figur inspiratif, bendera setiap negara, peta Indonesia, dan sejarah dunia. Maka tak heran, sejak TK, ia selalu pintar bercerita dan bertanya tentang apa saja. Tentang makanan halal dan haram, tujuh keajaiban dunia, kemajuan negara Jerman Jepang dan AS, presiden dunia, wilayah Indonesia, hingga arti kerja keras.

"Karena mereka bekerja keras dan tekun belajar.."

Begitulah jawaban sang ayah ketika si anak kebingungan kenapa ada negara yang maju dan ada yang tidak.


Belajar Hidup

Tidak banyak yang tahu bahwa semua itu terjadi dalam kondisi serba kekurangan. Bahkan saat itu, si anak tidak sadar bahwa kosakata "miskin" yang ia pahami dari dirinya sendiri akan membekas seumur hidupnya. Tapi beruntungnya, bocah kecil polos yang nakal dan suka bersepeda itu bisa tetap tertawa dan berkejaran bersama sebayanya. Menikmati hidup. Ia tahu ia senang bermain, memanjat pohon, melempar batu, menggigit, bersepeda, melihat kerbau berkubang, menangkap kepik, dan berjalan di antara semak-semak. Hanya itu yang ia pahami dan ia lakukan tentang hidupnya : bermain bersama teman-teman.

Selain orangtua yang memelihara dengan penuh cinta, anak itu juga belajar memiliki adik yang lahir 6 tahun setelahnya.

Cinta. Ia mulai bisa mendefinisikannya melalui sebuah nama yang ia persembahkan untuk adiknya. Alishia. Nama yang indah, yang ia sendiri iri kenapa namanya seindah itu.

Cemburu. Ia belajar tentang kosakata lain lagi. Ngambek, merajuk, dan aksi protes lain ia lancarkan agar tetap diperhatikan oleh orang tuanya.

Beruntung orangtuanya luar biasa pengertian. Meskipun butuh waktu 2 tahun untuk bisa berdamai tentang perasaan itu. Usia 6-8 tahun, anak itu sudah belajar memanajemen perasaan dan menjaga perasaan (berempati) terhadap orang lain.

Adiknya adalah media pembelajaran tersendiri bagi sang anak, sekaligus teman bermain dan bertengkar yang selalu dirindu.

"Tadi pas kamu ngaji, adiknya ikutan ngaji. Artinya, kamu adalah contoh buat adikmu. Jadi anak baik yaa.. supaya adikmu juga baik" Nasehat sang ayah..

Usia 7 tahun, ia belajar tentang arti keteladanan.


Persahabatan

Memasuki pergaulan SD, ia berkenalan dengan seorang bocah bernama Nafilia, yang ketika itu tak disadarinya akan menjadi sahabatnya seumur hidupnya. Pertengkaran, konflik, keegoisan, pride kanak-kanak, berdamai dengan diri sendiri dan orang lain, kesetia kawanan, sikap lapang dada, dan keindahan persahabatan semua bercampur indah dalam satu kata : sahabat.

Sejak usia 6 tahun, ia belajar kesetiaan dari persahabatannya. Setidaknya hingga 16 tahun berlalu.

Teman TK nya iri melihat perkembangan anak itu, ia sering difitnah dan dimusuhi. Tapi anak itu tidak pernah membalas. Sampai saat ini, anak itu tidak pernah bisa membalas atas keburukan yang menimpanya. Termasuk apa yang terjadi bertahun kemudian.

Suatu kali, ada pesta ulangtahun di antara pertemanan mereka. Maka dibagikan bingkisan snack kepada setiap tamu. Salah seorang temannya iri, dan berbisik kepada si empunya hajat "Harusnya, kamu ga usah kasih yosi". Ah, ternyata anak itu cukup mendengar dengan jelas. Sehingga..

"Ini, aku ga usah dikasih ini juga gapapa. Buat kamu aja. Terima kasih," Ucap anak itu kepada si empunya hajat seraya mengembalikan bingkisan.

Terdiam.

Tidak perlu banyak kata, bocah 9 tahun itu belajar tentang harga diri.

Konflik lainnya tentang sahabat yang berkhianat. Remaja kecil 12 tahun itu tahu apa yang terjadi di belakangnya. Namun ia tidak bereaksi negatif. Ia hanya diam, dan menangis. Setahun berlalu, si sahabat tersebut mengakui kesalahannya dan meminta maaf.

"Aku tahu apa yang terjadi, ya udahlah.. maaf juga yaa.." mereka berdamai.

Tak perlu memperparah konflik. Di usia 12 tahun, remaja kecil belajar tentang kemenangan dalam menahan amarah.


Kawah candradimuka

Kegiatan akademis adalah tantangan terasik sekaligus kawah candradimuka bagi dirinya. Ia belajar tentang prestasi sejak TK, menjadi juara kelas sejak SD-SMP, dan.... belajar untuk menerima kekalahan dan mendukung kelebihan orang lain di SMA.

Kuliah. Ia belajar tentang cakrawala dan khasanah kebangsaan lebih mendalam. Ia mulai mengeri tentang nilai-nilai yang ditanamkan sejak dulu. Dan ia mulai sadar, bahwa butuh 10 tahun bagi dirinya untuk bisa memahami dan mengamalkan nilai yang ditanamkan dahulu. Maka ia bertekad bahwa ia akan menanamkan nilai kebaikan sebanyak-banyaknya kepada anak-anaknya kelak, sedini mungkin.


Pilihan dalam Hidup

To the point saja. Ia belajar bahwa keputusan / pilihan apapun yang diambil berdasrkan pertimbangan dengan Tuhan dan atas restu orangtua akan selalu menguntungkan dan disyukuri.


22 tahun kemudian

Saya, melihat saya saat ini dan merefleksikan diri kepada cerita orang tua saya, tidak punya alasan untuk tidak bersyukur terhadap apa yang telah saya lalui. Terima kasih, Tuhan. Untuk selalu mendampingi, untuk selalu mengampuni, untuk selalu menyayangi, untuk selalu menarik diriku kembali, untuk selalu meyakinkan kebenaran janji-Mu, untuk selalu menunjukkan cinta dengan penuh kejutan, untuk dahulu saat ini dan esok.

Aku tahu, ini semua akan terlalui. Maka izinkan aku untuk selalu melaluinya dalam lindungan dan cinta-Mu. Aku ingin menikmati semuanya dengan penuh syukur. Semoga persembahan Ar-Rahman ku mampu kuamalkan pula..

Tahun ini aku memohon cinta, keyakinan, dan kesungguhan hati dalam melangkah dan melayani. Aku memohon kesempurnaan bagi pasangan sayapku yang tengah mencariku, tolong tunjukkan ia jalan yang lurus ya :)


Cherish every moment, gratitude every single thing, and appreciate everyone

Regards,
@yosay_aulia

No comments:

Post a Comment