Reyn hanya mampu mendesah.. merenung sejenak, untuk kemudian menangis. Ya, menangis. Menumpahkan air mata pada wajah ayunya. Sebab, apa boleh buat. Memang hanya itu yang mempu ia lakukan untuk menahan kerinduan akan kekasih hatinya, yang ia sendiri juga tak yakin bahwa kekasihnya merindukan Reyn.
mengapa tidak kau ungkapkan saja kerinduan itu, Reyn ?
Sebab Reyn tidak akan tega mengganggu keasyikan lelaki itu bermain games, atau serunya bermain dengan sepupunya yang masih bocah. Apalagi mengganggu konsentrasi belajar dan penyelesaian tugasnya. Atau bahkan merusak fokus perhatiannya dari acara keluarga. Reyn takkan tega. dan ia mengalah, mengungkapkan kerinduannya hanya pada diari dan dirinya sendiri. Lalu mengadu pada Tuhan. Menangis. Sebab ia takut, kerinduannya hanya dianggap sebagai ungkapan perempuan cengeng yang mengusik kesibukan laki-laki.
Pada suatu pembicaraan, " Aku belum menjadi milikmu, Reyn. Sebab masih ada orang tua dan keluargaku yang harus aku prioritaskan.. Maaf ya.."
Dan Reyn mengangguk, lalu tersenyum memaafkan. Selalu ada maaf untukmu, batin Reyn. Meski pikirnya melayang tentang restu orangtua, Reyn tetap tersenyum, menyembunyikan kegetiran. Sebab Reyn tak tahu kapan semuanya akan terjawab. Dan Reyn, ia hanya mampu bergantung pada Tuhan, melalui doa dan sujud panjang; sembari mencoba untuk tetap meyakini kebenaran mimpi itu.
*mencoba menulis cerpen nih .... heheheh