Adalah salah satu sifat yang melekati kepribadian masyarakat Eropa pada umumnya.
Di kehidupan masyarakat menengah dan rata-rata, setidaknya fenomena ini sering ditemui. Bersepeda atau naik kendaraan umum, tidak memiliki housemaid di rumah, solo travelling dan mengandalkan peta, melihat supir bus atau tram seorang perempuan, mengangakat koper sendiri, mengukur dan memotong sendiri kain yang diperlukan, mengambil dan menimbang sendiri buah yang mau dibeli, memasukkan belanjaan sendiri ke dalam kantong (tidak dibantu kasir), dan (sejauh pengamatan saya) jarang ada yang bermake up tebal.
Hal-hal kecil yang merupakan cerminan dari sikap kemandirian dan fungsional. Fungsional, semua ada fungsinya dan dimanfaatkan sebaik-baiknya, meminimalkan kemubadziran, dan memudahkan pekerjaan manusia.
Ya, berdasarkan kombinasi prinsip tersebut, hampir semua hal termekanisasi. Ada alat bantunya. Misalnya, pekerjaan ibu rumah tangga dipermudah adanya mesin cuci, penyedot debu, food processor, blender, microwave, dan dishwasher. Klik. Beres dalam waktu yang lebih singkat. Sangat memungkinkan untuk dilakukan semua sendiri (tanpa housemaid).
Kaum berkebutuhan khusus pun jadi tertolong dan mandiri sehingga tidak menjadi golongan kelas dua. Mulai dari kursi roda, alat bantu jalan (khusus lansia), kursi roda bermesin (yang mirip skuter), disediakan anjing penuntun tuna netra, paving blok dan tombol lift juga turut mampu membantu, hingga layanan jadwal kereta via audio. Semua bertujuan mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kemampuan self-help. Membuat mereka merasa berdaya dan dihargai sebagai manusia. Dan baiknya, kebanyakan orang menghargai kaum ini dengan memberi jalan terlebih dulu, atau sekedar tidak mengganggu.
***
"Apakah repot mengurus rumah tangga sendiri di negeri orang?"
Untuk pertama kali, tentu perlu penyesuaian. Tapi kemudian kami mulai terbiasa. Mandiri dalam hampir segala hal. Mulai dari membersihkan rumah, memberi nama anak, bergantian merawat Fatih, menentukan dan merancang liburan, dan keputusan keputusan lain. Akhirnya kami menikmati otoritas dan tanggung jawab yang penuh sebagai orang tua, suami istri, dan sebuah keluarga. Justru kami merasa terusik jika ada sikap yang melukai kedaulatan tersebut.
Bukan untuk curhat, tapi perasaan itu menjadi bekal kami untuk berhati-hati dalam berkomentar dan bersikap atas kehidupan orang lain. Mengurangi gosip dan kepo karena selain menyakitkan, hal tersebut tidak fungsional.
Ya, budaya mengerjakan semua sendiri membuat mereka:
1. Berusaha melakukan segala sesuatu dengan efisien dan efektif
2. Menciptakan alat bantu agar tujuan poin 1 tercapai
3. Mengurangi hal-hal yang menghalangi tercapainya poin 1 bagi diri sendiri atau orang lain. Misalnya kepo dan gosip, berdandan tebal kalau hanya untuk beli sayur.
Nah, budaya dan sikap ini sering dikira masyarakat Indonesia (termasuk saya di awal kehidupan di sini) bahwa mereka individualis, dingin, atau sombong. Pengalaman dan pemahaman saya (yang baru beberapa tahun ini , yang lebih paham silakan menambahkan ya) mereka hanya tidak mau mengganggu privasi atau ingin mengurangi hal-hal yang tidak fungsional. Sebenarnya mereka senang menolong dan memberi tahu arah jalan bila kita tersesat. Sering juga, mereka akan ramah dan mengajak berbincang di perjalanan kereta. Atau menyapa tetangga bila bertemu di jalan.
Saya pribadi mengakui bahwa ini bagai 2 sisi mata uang. Ada baik dan buruknya.
Sisi baiknya, saya bisa mendidik anak saya lebih mandiri dan cerdas secara emosi, sosial, dan intelektual. Ya, anak yang mandiri menurut saya punya kesempatan lebih untuk menyelesaikan masalahnya sendiri sehingga lebih cerdas. Anak-anak di sini juga dibiasakan untuk makan sendiri, tidak (mudah) dikasihani, dan tidak langsung ditolong bila jatuh saat bermain. Mereka dibiarkan mengatasi masalahnya sendiri, orang tua tetap mengawasi kemanan tetapi tidak merebut hak anak untuk belajar.
Pribadi yang mandiri dan fungsional juga lebih kuat karena mengurangi ketergantungan pihak lain dalam memenuhi kebutuhannya (nah poin ini kalau dilihat sebagai bangsa oke banget deh).
Kekurangaannya, kadang mereka perlu diminta untuk mau menolong karena mereka pikir kita mampu menyelesaikan sendiri. Misalnya, saat sangat keberatan mengangkat stroler bayi. Maka ya sampaikan saja secara asertif dan ucapkan terima kasih kalau sudah ditolong.
Kadang saya suka merasa kasihan sekaligus bingung (perlu kasihan atau tidak) kalau melihat para lansia di sini melakukan semua sendiri. Salut sih, hebat juga kemandirian, kesehatan, dan keberaniannya. Kebanyakan dari mereka hidup terpisah dari anak cucu, menikmati hari tua bersama pasangan. Sebab mereka memandang bahwa anak yang sudah dewasa (dan berkeluarga) telah memiliki privasi yang tidak boleh diganggu. Berkumpul dan saling berkunjung masih sering dilakukan, tapi mereka masih sangat menghargai privasi. Nah, poin iba saya adalah saat salah satu dari pasangan lansia ini tiada, maka pasangannya akan sendiri. Kalau di tanah air, pasti sudah tinggal bersama anak cucu. Kalau di sini, mereka sering hidup sendiri. Saya tidak berhak menghakimi anak mereka tidak berbakti, bisa saja memang itu pilihan hidup dan budaya.
Ohya, ada juga lansia yang masih single. Artinya mereka tidak membangun keluarga kecil. Nah biasanya mereka adalah lansia yang benar-benar kesepian dan tidak punya sanak keluarga untuk dikunjungi. Kadang-kadang, mereka ditemukan telah tiada setelah hitungan minggu bahkan tahun karena kondisinya yang tanpa teman. Sedih ya.
Ya, begitulah. Budaya di rantau tidak selalu baik, pun tidak selalu buruk. Untuk saya, mandiri dan fungsional itu penting. Tapi ketika ada keluarga yang memerlukan pertolongan sebaiknya dibantu.
Selamat berakhir pekan. Selamat menjadi pribadi yang mandiri, menghargai privasi, dan tetap suka menolong. Karena kemampuan menolong orang lain diawali dari kemampuan menolong diri sendiri. So, be independent !
Regards,
Yosay Aulia