Saturday, 28 April 2012

terima kasih

Well, pagi hari ini saya tiba-tiba teringat dengan suatu fragmen cerita dalam kehidupan saya. Ehm, sebenarnya kehidupan orang lain, yang dibaginya dengan sukarela.

Alkisah seorang dosen di suatu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Bagi saya, kehidupan keluarga dosen tersebut menarik. Kehidupan yang sederhana, jauh dari kemewahan, namun menghasilkan anak-anak yang memeiliki kualitas pendidikan yang tidak diragukan (secara kepribadian dan intelektual). Terus terang, saya mengagumi keluraga dosen tersebut sejak awal saya mengenalnya...

Suatu kali saya dan beberapa teman saya berkesempatan dijamu makan malam oleh dosen tersebut. Makan malam yang menyenangkan dan padat makna karena dosen tersebut banyak membagi pengalamannya, nilai-nilai kehidupannya, serta bercerita tentang kisahnya yang inspiratif. Saya mendapatkan banyak pengalaman dan pengayaan khasanah sudut pandang. Inspiratif.

Hingga pada suatu cerita yang membuat saya hampir menitikkan air mata.

Awalnya kami (saya dan teman-teman) menceritakan keresahan kami mengenai pilihan-pilihan kami dalam hidup. Apalagi usia kami saat ini terbilang rentan dan menemui banyak persimpangan pilihan. Kami merasa perlu mendapatkan perspektif lain dalam mengambil keputusan dalam hidup.

Yah, seperti anak muda pada umumnya. Keresahan kami meliputi pilihan karir, langkah yang akan diambil selepas menempuh pendidikan sarjana,  dan jodoh. Saya seorang teman saya yang memiliki cita-cita sebagai dosen menyampaikan keresahan yang kira-kira berbunyi tapi Om, kami saat ini merasa minder karena penghasilan sebagai dosen tampaknya masih jauh lebih kecil daripada orang-orang yang bekerja di perusahan multinasional.

"Besar kecil penghasilan itu sangat relatif.." begitu tanggapannya.

Kemudian Beliau melanjutkan,

Suatu kali saya ditanyakan oleh salah seorang rekan kerja saya. "Pak, emang penghasilan Bapak sekarang cukup ? Kenapa Bapak kurang agresif mencari proyek lain?"

Mengernyitkan dahi, mengingat-ingat "Saya merasa cukup.. memang kenapa?"

"Lho, kan ada aja permintaan anak-anak.. minta Blackberry lah, minta ini minta itu.."

Tersenyum, "Tidak, anak-anak saya tidak pernah meminta hal seperti itu.."


Maka ketika om pulang, om panggil semua anak-anak om. Om peluk mereka semua.. Om katakan. "(meneybutkan nama anak-anaknya).. papap berterima kasih kepada kalian untuk tidak pernah banyak menuntut banyak hal.. Kalian anak-anak papap yang baik-baik.. Papap sayang kalian semua.." Kemudian om cium mereka satu-persatu..

Seketika itu mata saya berkaca-kaca. Saya (terpaksa) harus menahannya agar tidak tumpah. Pun ketika saya menuliskan kembali kisah ini. Maka manifestasi yang terlihat saat itu hanya terkejut menutup mulut dengan mata berkaca-kaca dan berseru " Ah... Om...". Padahal rasanya dalam hati ingin memeluk Om satu ini... Subhanallah... Untung saja beliau segera melanjutkan ke cerita yang lain sehingga fokus saya bisa berpindah ek cerita selanjutnya.

Tapi saya terlanjur mencatat cerita itu dalam hati saya.


***


Terima kasih.

Seringkali kita (lupa) berterima kasih (bahkan) pada hal-hal yang sengaja dilakukan atau diberikan. Ketika diberikan penghargaan, bantuan, diantarkan makanan oleh pramusaji, dipersilakan masuk oleh resepsionis, diperiksa tas ketika memasuki gedung perkantoran, disiapkan makanan oleh keluarga kita, diberi senyuman, diberi honor oleh atasan, ditelpon oleh sahabat. Seringkali kita (lupa) berterima kasih (bahkan) pada hal-hal seperti itu.

Tapi pernahkah kita berterima kasih kepada hal-hal yang (sengaja) tidak dilakukan oleh orang lain. Contohnya, fragmen cerita seorang dosen di atas. Pernakah kita berterima kasih pada ayah yang tidak marah ketika kita pulang malam, kepada ibu yang tidak banyak komplain (msekipun sangat ingin anaknya menghabiskan waktu bersama di rumah) kepada kita yang sering pulang malam karena alasan khas aktivis.

Saya sendiri tidak tahu, apakah itu faktor budaya atau faktor karakter manusia urban masa kini. Sejauh saya pergi dari desa terpencil di Indonesia hingga negara maju di Eropa, mereka mengucapkan terima kasih dengan wajah sumringah dan tulus. Lagipula, ketika saya membuka buku travel guide di berbagai negara, selalu ada kamus kecil untuk ungkapan-ungkapan sehari-hari. Dan disana ada ungkapan "Terima kasih" dari berbagai bahasa, budaya, bangsa.  Maka saya  pikir, (enggan) mengucapkan terima kasih sama sekali bukan tentang budaya.

Lalu tentang apa ?

Saya juga tidak tahu.

Yang saya tahu, ucapaan terima kasih merupakan manifestasi terendah dari rasa syukur. Bila mengucapkan terima kasih saja enggan, bagaimana dengan ungkapan syukur yang lebih tinggi seperti bekerja keras atau berlaku adil ?Bukankah syukur adalah separuh iman (dan separuhnya adalah sabar).

Saya hanya berniat berbagi dengan tulisan ini. Sekaligus mengingatkan diri sendiri yang masih sering alpa mengucapkan terima kasih. Tulisan ini sungguh sangat minim. Sebab ada Dia yang mengingatkan dengan cara lebih indah dan sarat makna.

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih'.'' (QS 14: 7).

Kembali pada kehidupan dosen tersebut. Saya jadi berpikir pantaslah beliau mendapatkan keluarga yang luar biasa inspiratif. Sebab beliau sangat pandai berterima kasih. Bersyukur. Maka tak pelak, Allah pun ridho menambah nikmat-Nya. Berupa keluarga hebat dan anak-anak yang membanggakan.

Maka bila ada hal yang kurang berkenan dalam kehidupan ini, lupakan saja. Alihkan pikiran kepada hal-hal yang membuat kita bersyukur. Ucapkan terima kasih. Kemudian lihat apa yang terjadi.


Terima kasih telah membaca postingan ini :)

Regards,
Yosay

1 comment:

  1. "Bukankah syukur adalah separuh iman (dan separuhnya adalah sabar)"

    Noted!

    Thank you say :)

    ReplyDelete