Thursday, 9 February 2017

Dream Board

Secara resmi, saya baru mulai membuat dan memiliki dreamboard ketika mengikuti pelatihan pengembangan diri di kampus dulu. Sebelumnya, selama ini saya hanya berani menuliskan impian dan target saya di buku harian. Suatu kebiasaan yang terbangun sejak kelas 4 SD, sampai sekarang.
Menegangkan sekaligus sensasional. Kenapa? Karena meskipun selama ini saya termasuk pemimpi ulung, namun keberanian saya hanya terbatas di buku harian dan orang-orang terdekat. Untuk kali ini, pertama kalinya saya harus berani menetapkan target, kemudian menceritakannya kepada orang lain.
Tanpa saya sangka, perasaan yang mendominasi sangat kontemplatif. Alih-alih berfokus untuk menceritakan impian saya kepada orang lain, saya justru mengalami pergulatan dan perjalanan yang jauh sekali di dalam diri saya. Perjalanan itu dimulai dengan meruntuhkan tembok hasil percampuran prasangka dan gengsi.
Saat itu, antusiasme berbagi bercampur dengan ketakutan dihujat atau dicap berlebihan. Tapi setelah menjalaninya, saya sadar akan kekeliruan itu. Begitu tembok itu terdobrak, semuanya mengalir dengan sangat menyenangkan, bahkan saya menjadi percaya diri dan tidak menyangka dengan keberanian itu. Kabar baiknya, saya pun jadi ikut bahagia mendengarkan impian orang lain. Sebab saya ikut berempati, bahwa orang lain yang telah berani menceritakan impiannya kepada saya, ia telah berhasil memenangkan pergulatan batinnya sendiri.

***

Selain buku harian, saya menuangkan impian saya di blog. Saya ingat sekali, impian itu berjudul Yosay in 10 years terhitung dari 2011. Impian yang tertulis dengan perbandingan imajinasi: spontanitas: perhitungan = 90:4:1. Lega sekali setelah menuliskannya, saya merasa saat itu hati, tangan, dan pikiran saya digerakkan Sang Perencana, sehingga saya begitu yakin dan nekat melakukannya. Saat itu, blogging belum terlalu hits seperti sekarang, jadi saya cukup berani menuliskannya karena saya pikir akan sedikit orang yang membacanya.
Saya tidak menyangka ternyata beberapa orang yang saya kenal membacanya, dan membahasnya di depan saya. Barulah saat itu rasanya saya ingin jadi liliput. Malu, dan takut dihujat atau dihina.

***

Beberapa orang memberikan saya julukan si ambisius atau achiever. Beberapa lagi mengatakan saya fierce, karena impian saya yang terlalu muluk-muluk. Kalau mood saya sedang baik, semua saya tanggapi dengan santai. Namun, kadang omongan orang lain membuat ketidak nyamanan tersendiri dan ketakutan dalam hati. Sehingga saya berpikir, mungkin itu salah satu penyebabnya beberapa dari kita enggan bermimpi, atau mempublikasikan cita-citanya. Saya juga berpikir, sebaiknya saya tidak boleh melakukan demotivasi (istilah pak suklat) terhadap impian dan rencana orang lain.
Namun, kesukaan saya terhadap biografi tokoh-tokoh inspiratif yang sukses dalam berkarya bagi umat manusia membawakan satu kesimpulan yang sama. Mereka berani bermimpi, berani membela impiannya, berani mengambil resiko untuk mewujudkannya, dan bertanggung jawab dalam menjalankannya. Mereka yakin terhadap cita-cita dan impiannya, sehingga mereka mau memperjuangkannya.
Kesamaan lainnya adalah, meskipun mereka tentu pernah jatuh, sakit, dan terluka dalam prosesnya, mereka bangkit lagi. Bahkan, menjadikan cemoohan orang lain sebagai energi yang besar untuk membuktikan kemampuan mereka. Tidak, ini bukan sweet revenge. Ini adalah murni sebuah bentuk tanggung jawab dan keyakinan.
Yang saya pahami, impian dan cita-cita yang mulia adalah sebuah bentuk misi yang dititipkan Allah di hati kita. Kita perlu memperjuangkannya dengan penuh keyakinan dan menjalaninya penuh tanggung jawab.

Ayo bangun, dan wujudkan impianmu :)

Regards,
Yosay Aulia